Problem solving adalah kemampuan untuk menyelesaikan segala masalah dan mengambil keputusan yang sulit. Problem solving sendiri merupakan salah satu soft skill yang harus dimiliki oleh setiap orang karena sangat berguna saat sudah bekerja disebuah perusahaan.
Meskipun cukup mudah diucapkan, tetapi sebenarnya problem solving akan sulit dilakukan. Pasalnya, dituntut untuk memiliki pikiran positif dalam menghadapi masalah. Selain itu, problem solving juga membutuhkan kemampuan untuk berpikir secara logis dan sistematis di saat sedang menghadapi masalah.
Kemampuan problem solving sendiri sangat berkaitan dengan kemampuan lain yang melibatkan kemampuan menganalisa, mengeluarkan ide, mendengar, pengambilan keputusan, komunikasi, hingga kerja sama tim. Saat memiliki beberapa kemampuan seperti yang telah disebutkan diatas, maka menemukan solusi dari masalah yang dihadapi akan bisa dilakukan lebih mudah.
Undang undang nomor 23 Tahun 2004 merupakan kebijakan publik yang bertujuan menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Meski undang undang ini sarat dengan nilai nilai yang dipengaruhi oleh pemahaman tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender, yang intinya memberlakukan kesetaraan laki laki dan perempuan, namun dalam pemberlakuannya di Indonesia masih belum mampu menekan tingkat kekerasan dalam rumah tangga dinegara ini.
Disejumlah daerah yang nilai nilai budaya patriarkhi masih tinggi, tingkat kekerasan dalam rumah tangga sangat memprihatinkan. Sehingga UU No. 23 Tahun 2004 kurang berjalan efektif. Bahkan tidak jarang, dalam implementasi UUPKDRT, terdapat kontradiksi kebijakan pejabat disejumlah daerah, sehingga usaha menanggulangi KDRT berjalan stagnan bahkan mengalami kemunduran.
Komisi nasional perempuan melaporkan terjadinya peningkatan jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan. Pada Tahun 2003, terdapat 7.787 kasus; Tahun 2004 meningkat 56 persen menjadi 14.020 kasus; Tahun 2005 meningkat 69 persen menjadi 20.391 kasus. Tercatat pada Tahun 2010 ada 105.103 kasus KDRT yang terjadi di 33 Provinsi. Pada Tahun 2012, kekerasan terhadap kaum perempuan meningkat menjadi 119.107 kasus.
Sementara menurut data kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA), pada Tahun 2009 kasus KDRT yang di catat KPPPA berdasar data kepolisian sebanyak 148.586 kasus; Tahun 2010 berjumlah 105.103 kasus. Memasuki Tahun 2011 berjumlah 119.107. terkait jumlah kasus KDRT yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sebenarnya masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terungkap. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga seperti puncak “gunung es” karena banyak kekerasan dalam rumah tangga yang “tersembunyi” dari publik.
Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terus saja terjadi dan meningkat dari tahun ke tahun, walau pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan publik untuk menghapus kekerasan daam rumah tangga melakukan perlindungan terhadap perempuan yang dianggap kelompok rentan.
Menurut David Easton, Pemerintah secara sah dapat memaksakan peberlakuan nilai-nilai itu karena Pemerintah dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu kepada masyarakat. Pilihan pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai dalam masyarakat, karena Pemerintah adalah penguasa dalam sebuah sistem politik yang terlibat dalam masalah sehari-hari.
Sedangkan tentang identifikasi dan perumusan masalah dalam pembuatan kebijakan publik, sangat ditentukan oleh pelaku yang terlibat, baik secara individual maupun kelompok dalam masyarakat. Sedangkan menurut Esmi Warassih, proses transformasi dari keinginan sosial menjadi peraturan , baik dalam kontek politis atau sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat pembentukan peraturan tetapi juga pada tahap bekerjanya produk hukum.
Dalam realitas peningkatan KDRT, telah mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik dalam rangka menghapus KDRT. Kebijakan publik tersebut bertujuan memberikan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan terhadap setiap warga Negara, serta menegaskan bahwa KDRT merupakan pelanggaran HAM, kejahatan terhadap martabat manusia dan diskriminasi. Kebijakan publik secara khusus memberikan perlindungan kepada perempuan sebagai kelompok rentan yang diwujudkan dengan dibentuk dan diberlakukannya undang undang Nomor. 23 Tahun 2004.
Pembentukan undang-undang ini, bahwa Pemerintah berkeinginan memberikan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan bagi warga negaranya, dan Pemerintah menegaskan bahwa KDRT adalah pelanggaran HAM serta kejahatan bagi martabat manusia. Hak untuk rasa aman dan bebas dari ketakutan adalah salah satu bentuk dari hak asasi individual yang melekat pada pribadi manusia. Sedangkan kebijakan untuk melakukan perlindungan kepada kaum perempuan, menunjukkan bahwa peraturan tersebut dipengaruhi paham feminisme.
Pengaruh HAM dan paham feminisme, terjadi karena peran aktif Pemerintah dalam berbagai kegiatan tingkat nasional dan internasional. Pada tanggal 29 Juli 1980, dalam konferensi sedunia dasawarsa PBB bagi perempuan di Kopenhagen, Denmark, Pemerintah Indonesia menandatangani konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ditindak lanjuti dengan mengesahkan Undang Undang No 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tanggal 24 juli Tahun 1984.
Kemudian pada tanggal 9 oktober 1998 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden RI nomor 181 tentang Komite Nasional Anti Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan. Pada tanggal 6 Oktober 1999, Majlis umum PBB mengadopsi protokol atau konvensi Cedaw, atau upaya strategis untuk memberdayakan perempuan dalam menghapus diskriminasi terhadap dirinya dan menegakkan hak asasi perempuan.
Pemerintah Indonesia pada Tahun yang sama, mengeluarkan Undang undnag No. 30 tentang HAM, khususnya tentang hak asasi perempuan. Selanjutnya bulan desember 2000 dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tentang pengarus-utamaan gender, dan Mei 2003, DPR mengajukan hak inisiatif, yaitu mengajukan rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah yang disetujui Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 Desember 2004.
Guna menyikapi tingginya kasus KDRT di Indonesia, Kemen PPPA menginisiasi berbagai program, diantaranya Rumah Tangga Tangguh (RTT). Kemen PPPA mengubah target mengedukasi pasangan-pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan (pra nikah) untuk mencegah tindakan kekerasan yang akhirnya berujung perceraian. RTT diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagai generasi penerus bangsa. Dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mendukung program keluarga tangguh, meningkatkan pendidikan, pengetahuan, dan mengubah pola pikir pasangan yang akan menikah tentang konsep keluarga harmonis. Jika memungkinkan, Kemen PPPA juga melakukan edukasi sejak dini kepada anak-anak sekolah, terutama remaja puteri sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan pernikahan dan rumah tangganya kelak.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebenarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT guna menyikapi maraknya fenomena KDRT yang terjadi di masyarakat. Pemerintah menilai setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Selain itu, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Problem solving pada sisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ada peran Bhabinkamtibmas. Sebut saja salah satu Polsek yang kembali menyelesaikan permasalahan warganya terkait kasus KDRT, permasalah tersebut diselesaikan diruang Satbinmas Polsek setempat.
Kejadian KDRT itu terjadi dipicu oleh sang suami yang sering melakukan pengacaman terhadap istrinya, sehingga istri pelaku merasa tertekan batinnya dan melaporkan ke Polsek.
Selanjutnya piket SPKT dan piket Binmas mendatangi tempat tinggal sang suami dan membawanya ke Mako Polsek untuk memberikan pehamanan dan nasehat-nasehat kepada pelaku suami agar tidak melakukan KDRT karena bisa berdampak ke ranah hukum atau keretakan rumah tangga dan bisa mengakibatkan perceraian.
Pada akhirnya keduanya sepakat untuk berdamai dan pelaku suami berjanji tidak akan mengulangi lagi melakukan KDRT terhadap istrinya dengan menulis surat pernyataan, dan keduanya mengucapkan terima kasih banyak kepada salah seorang anggota Polsek berpangkat Bripka atas nasehat dan pertunjuknya.
Kompol Yusriandi Y, SIK, M.MedKom selaku Serdik Sespimmen Polri Dikreg ke 61 mengatakan, KDRT merupakan jenis kekerasan yang memiliki sifat-sifat khas yakni dilakukan didalam rumah, pelaku dan korban adalah anggota keluarga serta sering kali dianggap bukan sebagai bentuk kekerasan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan landasan hukum yang kuat yang menjadikan KDRT yang awalnya urusan rumah tangga menjadi urusan Negara. Namun, proses peradilan yang panjang, rasa malu, ketidak terwakilan korban, dan sistem sanksi yang tidak efisien menjadikan kasus KDRT banyak yang tidak dilaporkan, kalaupun dilaporkan banyak yang dicabut. Selain itu banyak sekali kasus KDRT yang tidak diselesaikan melalui pengadilan negeri tetapi pengadilan agama yang tidak menggunakan UU PKDRT. Untuk itu, muncul pemikiran menggunakan mediasi penal dengan mengupayakan penyelesaian yang win-win solution serta berupaya menjadi solusi atas permasalahan dalam sistem peradilan pidana.
KDRT lebih banyak dialami perempuan yang berkedudukan sebagai seorang istri, sedangkan pelakunya didominasi oleh laki-laki yang berkedudukan sebagai seorang suami. Hal ini desebabkan oleh faktor internal antara lain yaitu karakter pelaku kekerasan yang cenderung emosi, ketergantungan ekonomi, pihak ketiga dalam rumah tangga. Faktor eksternal antara lain perbedaan budaya/kebiasaan, perbedaan agama atau keyakinan pasangan suami-istri dan keduanya tidak saling memahami satu sama lain. Dalam kasus ini proses penyelesaianya yaitu melalui jalur mediasi atau diselesaikan di luar pengadilan.
Faktor-faktor pendorong terjadinya kasus KDRT adanya orang ketiga atau pelaku melakukan perselingkuhan, adanya pernikahan dibawah umur (pernikahan dini), ikut campurnya mertua dan pihak lain dan kesenjangan ekonomi. Proses penyelesaian kasus KDRT diluar Pengdilan yaitu tahap sebelum penyelesaian sengketa (pra mediasi), tahap penyelesaian sengketa (tahap mediasi), tahap akhir penyelesaian sengketa (tahap akhir mediasi).
Karena itu, upaya penghapusan KDRT harus dimulai dengan mengubah persepsi yang masih mendominasi masyarakat Indonesia.Pengesahan UU PKDRT pada tahun 2004 merupakan sebuah tonggak bersejarah dalam upaya mengubah persepsi masyarakat.Hal ini disebabkan perbuatan KDRT dimasukkan ke dalam lingkup tindak pidana dimana pelaku akan berhadapan dengan Negara melalui pengadilan. UU PKDRT merupakan kemajuan nyata yang dihasilkan oleh perjuangan organisasi perempuan di Indonesia yang mendobrak persepsi dominan masyarakat yang mengangap KDRT adalah urusan internal suami dan istri ke wilayah publik.
Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual, serta 6 dari 10 perempuan mengalami KDRT. Indonesia menempati peringkat nomor empat negara dengan kasus KDRT tertinggi pada 2016 lalu. Ada banyak faktor yang melatar belakangi terjadinya KDRT, diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi, perselingkuhan, perebutan hak pengasuhan, balas dendam, penyalahgunaan narkoba/miras, perbedaan karakter budaya, dan kurangnya persiapan pasangan sebelum menikah, baik dari sisi fisik, mental, dan psikologis sehingga pondasi rumah tangga ketika terjadi permasalahan tidak kuat. (*)