Muktamar Menyongsong Nahdlatul Ulama Satu Abad

by admin
1 comment 7 minutes read

Oleh : M. Syarbani Haira *)

Jika tak ada aral menghalang, dari tanggal 23 hingga 25 Desember 2021 mendatang, jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan event lima tahunan, muktamar yang ke-34. Event ini akan dipusatkan di Kabupaten Lampung Tengah, tepatnya di Pesantren Darussa’adah Mojo Agung, Kecamatan Gunung Sugih, Provinsi Lampung. Seperti halnya event muktamar sebelumnya, maka dalam event kali, sedikitnya ada 3 (tiga) agenda besar yang akan dibahas muktamirin. Pertama, mempertanggung-jawabkan kegiatan pengurus PBNU selama 5 (lima) tahun terakhir (walau ternyata menjadi 6 tahun), hasil Muktamar NU Jombang tahun 2015. Kedua, menyusun program kerja baru untuk 5 (lima) tahun ke depan. Dan ketiga, menyusun pengurus baru (PBNU) selengkapnya, mulai dari jajaran mustasyar, jajaran syuriah  serta jajaran tanfidziah.

 

Selain itu, usai pelantikan pengurus, PBNU yang baru masih harus melengkapi kepengurusan ini, seperti membentuk lembaga-lembaga. Misalnya, LDNU  menangani aktivitas dakwah, LP Ma’arif NU (pendidikan), LPNU (ekonomi), LPPNU (pertanian), Lembaga Falakiyah (rukyatul hilal setiap bulan), LKNU (kesehatan), LBPI (penanggulangan bencana alam), LTM (kemesjidan), LTN (penerbitan), LBM (kajian klasik – kontemporer), dan lain sebagainya. Total lembaga di lingkungan NU tak kurang dari 18, yang jika tiap lembaga pengurusnya 30 orang, itu artinya kepengurusan NU yang mengurusi lembaga tak kurang dari 540 orang. Ini belum termasuk badan otonom, seperti : Muslimat, Pemuda Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, JQH (mengurusi qari qari’ah), ISNU (mengurusi para sarjana dan intelektual), Sarbumusi (mengurusi karyawan dan tenaga kerja, serta buruh), dan lain sebagainya.

 

Sepertinya, keinginan untuk menjadi pengurus di lingkungan PBNU itu cukup besar, terbukti jauh hari sebelum muktamar berlangsung, polarisasi antar faksi di lingkungan NU itu telah mengemuka. Sehingga Prof Dr KH Said Aqil Siraj, MA, yang sudah 11 tahun menjadi Ketua Umum, yang sudah pernah menyampaikan tak bersedia lagi dicalonkan menjadi Ketua Umum PBNU, nyatanya kembali menyatakan kesediaannya. Kenapa ini bisa terjadi ? Karena orang-orang di sekitar beliau masih berhasrat untuk menjadi elemen PBNU, maka ramai-ramailah mereka mendorong penerima gelar doctor dari Umul Qura’ Mekkah tersebut maju kembali memimpin PBNU 5 tahun ke depan, agar mereka itu masih masuk gerbong PBNU  (begitu kira-kira ekspectasinya).

 

Sebagian dari actor-aktor pendukung tersebut, sesungguhnya umumnya sahabat-sahabat saya. Mereka itu dalam banyak kesempatan, minimal yang pernah dikader di PMII, ketika memberikan pencerahan organisasi, selalu mengedepankan pentingnya pengkaderan. Konsekwensi dari gagasan itu mereka lantang sekali menyuarakan urgensi regenerasi. Lantas kenapa sekarang gagasan ideal tersebut dikesampingkan ? Karena mereka berhasrat masuk kembali jajaran PBNU, sebagai konsekwensi (imbalan dari) mendorong dan membantu majunya kembali ketua umum yang hari ini mengendalikan PBNU. Ini mirip di pemerintahan, di mana pendukung calon presiden, konsekwensinya akan mendapatkan jabatan di kebinet, minimal di komisaris atau direktur BUMN.

 

Di sisi lain, ada gerakan perlawanan kembalinya Ketua Umum PBNU itu ke singgasana elite Tanfidziah. Alasannya adalah proses regenerasi organisasi. Bagaimana pun Ketua Umum PBNU hari ini sudah 2 (dua) periode, bahkan 11 tahun karena pandemic Covid-19. Beliau terpilih di Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010, terpilih kembali di Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015. Tak hanya itu, beliau menjadi elite PBNU sejak Gus Dur, hasil Muktamar NU ke-29 di Cipasung 1994, yang kemudian dilanjutkan hasil Muktamar NU ke-30 di Kediri tahun 1999 dan Muktamar NU ke-31 di Solo tahun 2004, dengan Ketua Umum-nya Kyai Hasyim Muzadi. Itu artinya beliau menjadi elite PBNU sudah di atas 20 tahun. Pertanyaannya, kapan bisa muncul kader baru di NU jika pemain atau actor lama masih selalu bercokol di organisasi ? Logika kelompok ini, dalam rentang waktu 10 tahun, harus selalu ada elite NU yang muncul di tengah umat nusantara ini, yang jumlah anggotanya terus meningkat.

 

Logika lainnya adalah wajah baru dan sekaligus ide baru, atau gagasan baru. Pendukung kelompok ini belakangan ternyata lumayan besar, mereka umumnya merupakan wajah-wajah muda, berlatar belakang pendidikan dari dunia global, dan interdisipliner. Kelompok ini memiliki networking yang luas dan kuat, serta mulai terbebas dari sekat-sekat yang membuat NU menjadi seperti “katak dalam tempurung”. Mereka justru pelaku tawasuth, tasamuh dan tawazun yang baik, seperti yang selalu diindoktrinasi NU kepada semua kadernya, entah melalui PKPNU, MKNU, atau pengkaderan di Banom dan Lembaga. Itu sebabnya mereka ini sudah tak lagi memasalahkan polarisasi masa lalu, yang justru kini bisa menjadi barrier kemajuan NU, seperti adanya polarisasi kader HMI yang mau active di NU dengan kader PMII yang tak semuanya mau active di NU, pendidikan pesantren atau bukan pesantren, dan sebagainya.

 

Justru soal pengkaderan yang belum maksimal inilah yang menjadi problema besar dalam upaya memajukan NU. Akibatnya, sejumlah lembaga kemasyarakatan dan kenegaraan, tak bisa serta merta direspon warga NU. Entah karena factor SDM, kompetensi yang belum siap, atau karena selalu kalah dalam kontestasi. Seperti soal kesiapan kader NU menjadi Rektor atau Dekan di PTN. Kenapa ini bisa terjadi ? Karena tak ada sentuhan secara terstruktur, sistematis dan massif dari institusi. NU membiarkan kadernya berjalan sendiri. Tetapi setelah kalah, justru ramai-ramai menyalahkan kader NU. Dalam konteks local, saya pernah mendapat umpatan tak baik dari seorang senior PMII yang juga tokoh NU di sebuah kabupaten, terkait kekalahan saya dalam pemilihan Ketua sebuah lembaga pemerintah non-struktural level provinsi. Dengan mudahnya ia menyalahkan 3 (tiga) kader PMII yang dianggapnya tak becus.

 

Model inilah yang terjadi di NU yang harus direkonstruksi ulang, di mana advokasi yang tak pernah dilakukan. Tak ada atensi, dan tak ada escorte. Ini hanya contoh kecil, yang memang bisa saja dianggap tak harus menjadi ranah NU secara institusi.

 

Maka itu pengkaderan justru menjadi urgent. Institusi NU sejak dari PB, PW dan PC harus bertanggung-jawab jalannya pengkaderan itu. Mengingat secara institusi sumber finansial NU itu belum merata, bahkan ada PCNU yang nggak punya apa-apa, maka proses pengkaderan di NU harus diupayakan simultan. PBNU jika datang ke daerah harusnya menjadi beban sendiri, bukan beban cabang atau wilayah. Seperti halnya jika wilayah atau cabang juga akan menanggung bebannya sendiri.

 

Inilah yang juga menjadi obsesi rekan-rekan dan sahabat-sahabat yang ingin melakukan pembaharuan jam’iyah NU ini. Ke depan, NU harus menjadi beban bersama. Struktur cabang harus rajin ke bawah, membina MWC dan Ranting-ranting NU. Struktur wilayah juga harus rajin ke bawah, membina cabang-cabang, termasuk MWC dan Ranting serta Anak Ranting. Struktur pusat harus rajin ke bawah, membina wilayah-wilayah, cabang, MWC dan Ranting. Jangan ada lagi pilih kasih antara satu PW dengan PW lainnya, dan antara satu PC dengan PC lainnya.

 

Bagaimana pun NU itu lahir untuk urusan agama, nusa dan bangsa. NU lahir pada tanggal 31 Desember 1926, pertama untuk urusan agama, syi’ar Islam ahlussunnah wal-jamaah (Aswaja). Dakwah Islam Aswaja ini harus terus berjalan, dan berkontinyuitas. Dakwah dengan misi ini tak boleh mati. Majelis-majelis taklim harus diberi pencerahan, secara face to face, agar syi’ar Islam aswaja ini tak pernah mati. Ia hidup terus, hingga akhir zaman. Ini memerlukan gerak nyata NU, dari Sabang hingga Meraoke.

 

Untuk bangsa, khususnya di nusantara ini, maka dakwah NU agar mencintai NKRI menjadi urgent. Semangat menggelorakan nasionalisme menjadi tanggung-jawab NU. Bagaimana pun kelahiran NU dulu dalam rangka semangat nasionalisme, melawan penjajah. Konsekwensinya jangan ada penjajah baru di negeri ini, yang ingin merusak negeri ini, termasuk merusak ideology negara Pancasila yang sudah disepakati oleh semua elemen bangsa. Tidak hanya itu, dakwah NU juga dimaksudkan untuk ketentraman, kedamaian, dan kemaslahatan umat manusia. Persoalan umat di bumi hari ini cukup kompleks, mulai dari kebutuhan substantive, seperti sandang, pangan, dan pendidikan, juga kebutuhan suplementer lainnya seperti soal kemajuan sain, ilmu dan teknologi, yang implikasi tentu positive bagi manusia, seperti soal perdamaian, kesejahteraan dan kemakmuran (welfare).

 

Karya nyata seperti inilah yang ditunggu umat manusia di berbagai belahan bumi ini. Inilah yang harus diantisipasi oleh NU sebagai sebuah jam’iyah diniyah. Karya nyata inilah yang mau diusung kalangan generasi baru NU, agar bisa menjadi role model bagi institusi lain, atau bangsa lain. Ini bisa menjadi monument nyata dalam kehidupan manusia. Maka itu wajah baru NU sangat diperlukan, NU yang mengeterapkan manajemen modern yang baik, akomodative, yang selalu menghargai potensi anggotanya, bukan sebaliknya.

 

Melalui muktamar ini, dengan sekian gebrakan yang akan terjadi di tubuh NU, terlebih dengan semakin dekatnya moment “NU Satu Abad” tahun 2026 mendatang.  NU akan menjadi terdepan dan terbesar. Dengan jumlah paling besar di dunia (kuantitas), dan dengan mutu yang unggul (berkualitas), NU akan beramal dan berkarya, sesuai cita-cita dan hajatnya. Meski muktamar dilakukan secara darurat, tetapi memiliki values konstruktive, walau masih terpendam. Dengan niat yang tulus, ikhlas dan istiqomah, Insya Allah harapan ini akan menjadi kenyataan. Aamien … !!

 

*) tokoh NU Kalsel

 

 

 

Baca Artikel Lainnya

1 comment

Prof Abdul Hadi : NU Siap Berkolaborasi dan Stabilkan Turbulensi Tahun Politik - Barito Post Selasa, 20 Desember 2022, 17:43 - 17:43

[…] BACA JUGA: Muktamar Menyongsong Nahdlatul Ulama Satu Abad […]

Reply

Leave a Comment