Limbah Pohon Ulin Bernilai Jutaan Rupiah 

by admin
2 comments 4 minutes read

Pelaihari, BARITO –  Semakin tua semakin jadi, ya itulah ia limbah pohon Ulin (Eusideroxylon Zwageri) yang hanya berdiri sebagai kayu onggokan kayu pohon di atas tanah, namun pada bagian dalam kayu Ulin tersebut masihlah sangat keras walau di bagian kulit luarnya mengering.

Kayu Ulin memang menjadi tren di era tahun 1980-an di Kabupaten Tanah Laut. Banyak pengusaha-pengusaha kayu Ulin yang sukses dan menjadi kaya, akan tetapi lama kelamaan keberadaan tanaman ulin mulai berkurang, hingga akhirnya pengusaha kayu ulin pun banyak yang menutup usahanya lantaran sulitnya bahan baku. Belum lagi adanya aktivitas penebangan liar kayu ulin yang semakian mengurangi tanaman pohon ulin.

Seperti halnya di Desa Sumber Jaya di Kecamatan Kintap, pada desa tersebut dulunya begitu banyak pohon-pohon ulin berabagai ukuran. Mulai dari diameter 1 meter bahkan harus sampai 2 orang dewasa hingga memeluk batang pohon ulin.

Kini hanya tertinggal sisa-sisa pohon ulin atau onggokan yang masih menancap di atas permukaan tanah, dan terkesan tidak membawa manfaat apa-apa.

Namun bagi Gato Sugeng.S pentolan karyawan perusahaan tambang batu bara di di wilyalah Kecamatan Kintap, onggokan pohon-pohon ulin tersebut dapat ia sulap menjadi nilai seni yang bisa menghasilkan uang jutaan rupiah. Darah seni yang mengalir di Gatot, maka beragam bentuk pun ia garap bersama 8 orang warga setempat untuk menjadikan onggokan pohon ulin tersebut menjadi satu set meubeler kursi dan mejanya.

Bentuk khas onggokan pohon ulin yang terdapat akar ulin, menjadikan hal tersebut sebagai seni meubelernya. Butuh waktu kurang lebih 1 minggu dalam membuat meja maupun kursi dari onggokan pohon ulin. Tapi hasilnya justru menjadi nilai rupiah yang tinggi setelah proses finishing dilakukan.

Gatot sendiri bahkan telah membentuk sebuah kelompok pengrajin kayi ulin bernama Berkat Bersama dan juga membuat galeri bagi hasil karya seninya di Desa Sumber Jaya.

Di temui di galerinya, Sabtu (6/4) Gatot mengungkapkan, melihat pada potensi di desa yang banyak terdapat onggokan pohon ulin dan cukup prihatin dengan kondisi kayu ulin yang sementara hanya banyak di buat kayu arang dan hanya di bakar oleh masyarakat, maka dari itulah muncul ide memanfaatkan limbah-limbah kayu ulin tersebut.

“Harga satu set meubeler bervariatif, mulai dari Rp 5 juta sampai Rp 10 juta tergantung bentuk dan tingkat kesulitannya, sebagai orang seni tidak bicara uang akan tetapi dari seninya sendiri maka harga pun menyesuaikan,”ucap Gatot.

Karya seni meuleber dari onggok atau limbah kayu ulin buatan Gatot pun sudah sampai keluar Kabupaten Tanah Laut seperti Banjarbaru, dan yang terjauh Gatot bahkan mengirimkan sampai ke Madiu Jawa Timur walau ongkos transport masih di tanggung pembeli dari Madiun.

Hal senada di utarakan kades Sumber Jaya Sugeng Hariyanto. Menurut kades, Desa Sumber Jaya khususnya telah bekerjasama dengan perushaan pertambangan batu bara sebagai pensuportnya, sebenarnya banyak potensi yang perlu di gali dalam rangka membantu perekonomian warga setempat. Tidak semata hanya pemanfaatan limbah kayu ulin, namun potensi lainnya seperti produk makanan dengan memberdayakan kaum ibu-ibu atau UKM.

Tumbuh dan besanya galeri kerajinan kayu ulin di bawah pimpinan Gatot Sugeng tidak lepas dari peran perusahaan tambang batubara seperti PT. Pama sebagai subkon PT.Arutmin Indonesia melalui program Cooporate Social Responsibility (CSR).

Eko Sunarno koordinator CSR PT.Pama menjelaskan, Desa Sumber Jaya adalah salah satu yang masuk dalam wilayah Ring 1 yang berada di sekitar lingkungan perusahaan.

“Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat degan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar desa dengan cara memberikan pelatihan, sehingga punya kemampuan salah satunya sisa akar kayu ulin, dan hasil produksinya di ikut sertakan dalam pameran tingkat kabupaten, provinsi dan nasional, dengan harapan produk dapat di kenal masyarakat Indonesia,”kata Eko.

Ia menambahkan, awalnya memang sulit dalam mengembagkan potensi yang ada, tentunya masalah modal yang paling utama, keterampilan dan dengan itulah perusahaan mensuportnya.

Terhadap pohon ulin, baik masyarakat dan perusahaan pembinaan pun tidak menginginkan pohon ulin hanya tinggal nama tanpa di ketahui anak cucu kelak. Untuk itulah bibit-bibit tanaman ulin pun terus di tanam agar pohon ulin tetap ada di generasi selanjutnya.

Dalam pemanfaatan limbah kayu ulin juga tidak lepas dari perab Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian (Disnakerin) Tala dalam hal melakukan pembinaan dan arahan kepada kelompok masyarakat pengrajin.

Kepala Disnakerin TalanMasturi, Senin (8/4) mengatakan, Disnakerin sebelumnya telah mengadakan pelatihan-pelatihan pengolahan seni kerajinan craft dari kayu ulin, mengikutsertakan produk-produk tersebut dalam kesempatan pameran/promosi dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan ASEPHI Tala yang menaungi para pengrajin handicraft.

“Sekarang yang sedang di usulkan adalah menggelar even Tanah Laut Craft Festival, dan usulan festival di Rencana Kerja (Renja) tahun 2020, semoga hal tersebut bisa di akomodir oleh Tim Anggaran,” tutup Masturi.baz

Baca Artikel Lainnya

2 comments

aji prakoso Minggu, 16 Juni 2019, 22:27 - 22:27

kayu yg punya kelas kuat awet I-II harganya menggila

Reply
Edris parnomo Kamis, 25 Februari 2021, 12:51 - 12:51

Saya bnyak sekali tunggu bulin

Reply

Leave a Comment