Semua yang Tidak Diinginkan Korban Termasuk Pelecehan

by baritopost.co.id
0 comment 5 minutes read

Kasusnya Banyak “Menguap”

Banjarmasin, BARITO – Kejahatan pelecehan anak mengundang keprihatinan masyarakat. Apalagi banyak kasus pelecehan terkesan “menguap”,pelakunya tidak diproses bahkan sanksi tidak membawa efek jera sehingga kasusnya terus bermunculan.

Hal itu menjadi tema yang diangkat dalam Program “Palidangan Noorhalis” yang disiarkan langsung Pro 1 RRI Banjarmasin, Kamis(23/01/2020) pukul 10.00-11.00 wita.

Noorhalis Majid, aktivis senior pemilik sekaligus pemandu acara tersebut mengundang aktivis perempuan yajni Hj Normayani, dan Nur Hikmah yang merupakan Pegiat Perlindungan Perempuan dan Anak.

Noorhalis membuka acaranya dengan berbicara tentang semakin maraknya kejahatan pelecehan dengan anak di bawah umur sebagai korbannya.

“Bukan hanya beda jenis kelamin, yang samapun terjadi. Sulit membuktikan, tidak ada saksi mata dan tidak ada yang mau bersaksi. Malu, takut. Akhirnya menguap, hilang tak berbekas. Terus berulang, tidak semakin surut. Tidak membuat jera,” ujarnya.

Berkaitan hal itu, Hj Normayani memberikan tanggapan bahwa anak adalah amanah Allah.

“Karena amanah, maka harus dilaksanakan oleh orang tua. Tidak boleh diperlakukan dengan kasar,”  kata Hj Normayani.

Dia melihat, di tempat-tempat penitipan anak, sering dilaporkan bahwa anak diberi minuman obat tidur, agar tidak sulit merawatnya. Ada juga disewakan untuk dibawa meminta-minta di perempatan jalan, itu semua tergolong kejahatan pada anak.

Sementara, di lingkungan keluarga, ada anak yang dilecehkan oleh orang tua sendiri, oleh orang tua tiri. Oleh orang dewasa kepada anak-anak. Yang paling umum, kekerasan dalam bentuk verbal. Anak diteriaki, disumpahi.

“Namun yang membuat kita sangat miris, anak dijual untuk seks, menjadi perempuan panggilan, padahal masih pelajar. Apalagi sekarang kejahatan seksual menggunakan aplikasi. Ada kasus anak SMA yang menjual diri, saat siang jam pelajaran, dijemput di sekolah oleh orang dewasa yang memesannya. Ketika orang tuanya tahu, menangis sangat sedih, tidak tahu bahwa anaknya seperti itu,” bebernya.

Selanjutnya Hj Normayani juga menyoroti fenomena  anak yang dipaksa bekerja. Padahal belum waktunya bekerja. Bekerja itu tugas orang tua. Anak dipaksa bekerja membiayai keluarga. Ini bentuk kejahatan, kekerasan kepada anak, tukasnya. Karena membebankan tanggungjawab orang tua kepada anak.

“Sodomi kepada anak juga banyak terjadi. Bahkan yang membuat kita heran, dilakukan oleh orang berpendidikan. Dilakukan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat publik, guru, dan lain-lain. Kasus yang seperti ini,  dimana pelakunya sangat terhormat, sulit dijangkau oleh hukum, biasanya hilang karena berbagai alasan,” lanjut Hj Normayani.

Sementara itu narasumber lainnya, Nur Hikmah, mengatakan, sebelum berbicara kasus-kasus atau fenomena kejahatan pelecehan, ada baiknya diketahui dulu definisi pelecehan, sehingga mudah mengidentifikasi bentuk tindak pelecehan itu sendiri.

“Pelecehan itu tindakan memaksa, baik bentuknya menyerang, ataupun melakukan yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan. Kekerasan seksual tentu lebih dari pelecehan, dampaknya bisa trauma, emosional dan penyembuhannya sangat lama,” tandasnya.

Bentuk pelecehan, bisa dengan dirayu, dicolek, dipeluk, sampai seks oral, perkosaan. Semua yang dilakukan dengan paksaan,  tidak dikehendaki korban, itulah yang dimaksud pelecehan.

Banyak kekerasan dalam bentuk perkosaan, diawali dengan memberikan obat. Setelah tidak sadar, baru kemudian tindakan pelecehan dilakukan.

Menurut Nur Hikmah, sudah banyak organisasi yang bergiat melakukan penanganan masalah pelecehan, misalnya PPA, Pelayanan Perempuan dan Anak, di semua kabupaten, tempatnya di masing-masing Polres.  Mereka melakukan pendampingan dari aspek hukum dan medis, terutama terhadap ABH, anak yang berhadapan dengan hukum.

Organisasi para pendamping korban ini, teknis pendampingannya, diawali dari laporan masyarakat, bisa pula jemput bola, berdasarkan pemberitaan yang ramai di media massa. Melakukan klarifikasi, melihat kebenaran berita yang sudah beredar. Setelah itu dilakukan penanganan, mendampingi korban dan keluarga korban.

Sementara untuk korban sodomi, lanjutnya, kalau pelakukannya adalah anak, keduanya didampingi, korban didampingi, pelaku juga didampingi. Sementara bila pelakunya orang dewasa, maka korbannya yang didampingi.

Pada sesi telepon interaktif, beberapa pendengar memberikan respon yang rata-rata mendukung penegakan hukum berupa sanksi tegas dan keadilan bagi korban.

Suryani di  Jalan Kelayan berpendapat, kejahatan pelecehan merupakan bentuk kelainan dan penyakit sosial yang harus dilakukan penegakan hukum.

“Selain itu, masyarakat di sekitar tempat tinggal juga harus terus dilakukan edukasi, pendidikan dan etika, agar waspada, berhati-hati, peduli terhadap kejahatan tersebut. Sementara bila itu pelecehan terhadap perempuan, maka perempuan sendiri harus berhati-hati, baik berhati-hati terhadap penampilan, maupun  pergaulan,” tegasnya.

Hj Ratna di Marabahan berkomentar bahwa kejahatan pelecehan sulit dibuktikan dan tidak ada saksi. Sekarang ini, kata dia, orang berhijab juga sering dilecehkan. Pelecehan sering terjadi justru di lingkungan rumah tangga sendiri, oleh anggota keluarga yang bersangkutan.

Ratu di Jalan Kelayan, kemudian mengungkapkan kendala lemahnya penegakan hukum kasus pelecehan. Umumnya, imbuh  Ratu, korban malu melapor.

“Jadi, bagaimana sebaiknya, apakah ada syarat sehingga menyebabkan lapor itu malu? Bagaimana dengan hukuman kebiri yang sudah wacanakan,” tanyanya.

Kemudian masyarakat lainnya, Opung di Jalan Kelayan mengatakan, sodomi itu menimbulkan trauma, lalu berikutnya korban bisa saja membalas untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain. Trauma ini, hemat dia sulit penyembuhannya. Sehingga semua pihak diminta terus konsisten menyampaikan pesan-pesan moral, agar tidak menjadi hal yang biasa.

Nur Hikmah memberikan tanggapannya, bahwa peran media sosial sangat besar. Media sosial memberi dampak positif dan negatif. Tayangan-tayangan porno, memberi pengaruh negatif yang sangat besar.

“Kalau sudah terjadi, harus dilakukan tindakan refresif. Yang salah harus dihukum. Kalau pelakunya orang tua atau orang dewasa, maka selain dituntut dengan delik kriminal umum, juga dengan UU Perlindungan Anak. Bila pelakunya anak, ada UU sistem peradilan anak. Soal kebiri, memang aparat kita belum berani menjatuhkan hukuman ini. Padahal kalau dilakukan, akan memberi efek jera,” jelasnya.

Jika merasa takut melapor ke kantor polisi, atau takut diketahui orang, Nur Hikmah menyarakan agar pelapor mendatangi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). P2TPA ada di setiap kabupaten/kota. Lembaga ini dibentuk oleh pemda, sebagai tanggungjawab pemerintah  melakukan perlindungan kepada anak.

Kalau sodomi dilakukan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, aparat dan sebagainya. Oleh orang-orang yang semestinya melindungi anak, maka hukumannya ditambah, hal tersebut diatur dalam UU No 17/2016 serta Perpu No 1 tahun 2016.

“Perlu kita lakukan seks edukasi, membangun kepedulian masyarakat terhadap kasus-kasus yang muncul di tengah masyarakat. Aparat hukum juga harus kreatif dan peduli  mengutamakan rasa keadilannya,” kata Nur Hikmah.

Sementara Hj Normayani, mengajak orangtua untuk mendidik anak-anak dengan pendidikan agama yang kuat.

“Ajari dan bekali dengan pengetahuan agama. Bimbing dia agar menjadi manusia. Kalau itu sudah dilakukan, tinggal berdoa, pupuk dengan doa-doa, minta perlindungan pada Allah,” katanya.

Penulis: Cynthia

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment