MEMODERNKAN PASAR UJUNG MURUNG

by baritopost.co.id
0 comment 4 minutes read
Oleh: Noorhalis Majid

Pagi itu, Kamis 16 Januari 2020 Pukul 09.00-10.00 wita, saya menyimak pemaparan sejumlah pejabat terkait Pemko Banjarmasin menyangkut rencana penataan, dan bahkan renovasi pasar rakyat Ujung Murung, dalam satu acara dialog Pro 1 RRI Banjarmasin.

Menurut dialog tersebut, pasar ujung murung rencanannya akan dibangun menjadi pasar rakyat modern dengan tinggi bangunan 8 lantai, sehingga semua pedagang akan dapat ditampung pada pasar tersebut. Ada 16 lift akan disediakan, sehingga tidak sulit mengakses setiap lantai. Akan menjadi pasar rakyat modern yang membanggakan bagi Banjarmasin dan Kalimantan Selatan, demikian disampaikan dengan penuh semangat dan optimisme oleh para pejabat tersebut.

Sambil menyimak paparan tersebut, pikirannya teringat pada hasil survei cepat yang dilakukan Ombudsman RI Perwakilan Kalsel tahun 2019 tentang bangunan terbengkalai. Pada survei tersebut ditemukan 14 pasar yang sudah dibangun dan kemudian terbengkalai. Jumlah 14 buah pasar, bukan jumlah sedikit. Pasti memakan dana yang besar sekali untuk membangunnya. Dari survei tersebut juga ditemukan kesimpulan, bahwa setiap pasar yang dibangun lebih dari satu lantai, maka lantai atasnya tidak terpakai. Dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, termasuk untuk kegiatan asusila, amoral dan peredaran obat terlarang.

Jumlah 14 pasar tersebut tidak termasuk pasar-pasar yang separo terbengkalai. Kalau ditambah yang semi terbengkalai, pasti lebih banyak. Misal, pasar Antasari yang juga dulu dianggap menjadi pasar kebanggaan orang banjar, kita dapat bertanya, apa kabar kiso-kios di lantai atas, termasuk terminalnya, apakah termanfaatkan? Apakah pembeli mau datang ke kios-kios di lantai atas?

Ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan, saya sampaikan ini karena sudah sering terjadi di banyak tempat. Pertama, pembeli cenderung ingin mudah, sehingga bila letak kios di lantai atas, sekalipun ada lift, maka pembeli tetap memilih di lantai dasar, karena aksesnya lebih mudah, apalagi bila jumlah belanjaan dalam volume yang agak banyak. Kecendrungan itu terjadi di banyak pasar, mulai dari pasar Tanah Abang di Jakarta, pasar Turi di Surabaya dan pasar-pasar lainnya, sehingga pasar rakyat modern yang diharapkan, tidak terwujud karena tidak kuat melawan keinginan pembeli yang cendrung ingin mudah. Akhirnya penjual turun ke trotoar dan halaman pasar, unjuk menjemput para pembeli.

Kedua, kalau pasar menggunakan lift, maka berarti ada operasional pasar yang harus ditanggung oleh para pedagang. Kalau harus menggerakkan puluhan lift untuk memudahkan orang akses, maka bisa dibayangkan berapa tenaga listrik yang dibutuhkan, mungkin perlu biaya listrik ratusan juta per bulan. Kalau lagi mati lampu, harus ada mesin genset besar yang dapat menggerakkan lift tersebut. Kalau semua dibebankan kepada pedagang, maka pasti membebani. Kalau pedagang tidak sanggup dan memilih tidak membayar, lift tidak jalan. Kalau lift tidak jalan, tidak ada akses menuju lantai-lantai pasar yang tinggi tersebut. Pasar bisa tutup, lagi-lagi penjual akan turun memenuhi halaman dan memilih menjadi pedagang kaki lima.

Itu baru dari sisi teknis, dan sudah terjadi pada banyak pasar, menyebabkan mimpi untuk mewujudkan pasar modern tidak terwujud. Karena itu soal teknis tersebut harus dipikirkan matang-matang agar tidak menjadi persoalan dikemudian hari.

Soal non teknis yang sering menjadi keyakinan para pengamat ekonomi, bahwa pasar modern, sirkulasi pengunjungnya sangat tergantung jumlah penduduk yang ada di kota tersebut. Kalau jumlah penduduk kurang dari 1 juta, maka cukup satu pasar modern. Kalau ada lebih dari satu pasar modern, pasti jumlah penduduk yang ada tidak mencukupi untuk mengunjungi kedua pasar tersebut, akhirnya salah satu pasar modern akan tutup.

Ketiadaan pengunjung karena terkonsentrasi hanya pada pasar yang lebih besar, juga terjadi di Banjarmasin. Jumlah penduduk Banjarmasin yang tidak banyak, tidak mampu meramaikan semua pasar modern yang ada, sehingga pasar-pasar tersebut sepi pengunjung.

Sejak Duta Mall buka beroperasi sebagai pasar modern besar, maka pasar lainnya yang lebih kecil seketika mati. Mitra plaza, Posindo Plaza, Metro Plaza, Ramayana Jembatan Dewi, dan lain-lain seketika mati. Hanya pasar Antasari yang mampu bertahan, itupun karena ada pasar tradisional di dalamnya.

Maka lawan dari pasar modern adalah pasar tradisional, cukup benahi pasar tradisional, maka keseimbangan itu akan terjaga. Tidak perlu menjadikan pasar tradisonal menjadi modern, karena bila menjadi modern, akan banyak faktor ikutan yang memberi pengaruh, bisa jadi faktor ikutan tersebut berkontribusi terhadap penambahan beban dan biaya para pedagang.

Maka sebelum semua rencana pembangunan renovasi pasar Ujung Murung berjalan, ada baiknya untuk terbuka membahasnya, terutama terbuka terhadap para pedagang yang nanti akan menghuni pasar tersebut. Ada baiknya pula untuk melakukan survei lanjutan atas pasar-pasar yang saya sembutkan terbengkalai tadi, agar renovasi pasar Unjung Murung inipun tidak berpotensi terbengkalai.

Saya menyarankan, realistis saja. Lebih baik membangun pasar yang bersahaja. Tidak perlu harus modern. Cukup rapi dan indah. Berikan sentuhan unik sesuai potensi yang dimiliki Banjarmasin, yaitu, pasar tersebut bisa diakses melalui sungai dan melalui darat. Sehingga pada bagian tepi sungai Martapura, jangan dijadikan belakang dari pasar, namun jadikan pula sebagai teras dari pasar, sehingga para pedagang yang berasal dari kampung-kampung di sepanjang sungai Barito yang selama ini memilih belanja di pasar Ujung Murung dan Pasar Lima, lebih mudah aksesnya. Dengan demikian, kita akan memiliki pasar yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. (nm).

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalsel

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment