Mark Up dan Proyek Fiktif Masih Marak di Kalsel

by baritopost.co.id
0 comment 2 minutes read

Banjarmasin, BARITO – Praktisi hukum, Masdari Tasmin melihat, penggelembungan anggaran (mark up) dan proyek fiktif menjadi modus yang paling umum dipakai dalam tindak pidana korupsi (tipikor).

Dalam hal ini, semua kegiatan yang didanai APBN maupun APBD sangat rawan terjadi tipikor.

Apalagi, dana yang digelontorkan tergolong besar dalam jumlah milyaran dan triliunan rupiah, sehingga tidak menutup kemungkinan memicu orang melakukan korupsi.

“Jika terkait dengan harta, maka tidak menutup kemungkinan memicu orang melakukan korupsi, tergantung kekuatan imannya. Apalagi jika seorang pejabat suka berfoya-foya, bergaya hidup mewah,maka tergodalah dia,” ujarnya, Selasa (23/2/2021).

Apalagi, imbuhnya, jika anggarannya besar. Masdari mencontohkan, pengadaan vaksin Covid-19. Maka kegiatan belanja atau komponen yang menyertainya bukan hanya vaksin semata. Melainkan juga membutuhkan sarana  penyerta, misalnya distribusi, alat penyimpanan dan sebagainya.

Maka menurut Masdari yang juga dosen sejumlah perguruan tinggi itu, ada 4 faktor yang perlu dibenahi dalam penegakan hukum.

Pertama, pembenahan produk hukum . Hukum yang “tidak beres” ,tukasnya, memungkinkan celah untuk penyimpangan, apalagi, hukum juga buatan manusia.

Kedua, pembenahan pelaksana. “Tidak cukup hanya hukumnya yang bagus, tetapi pelaksananya tidak. Maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik. Ketiga, pembenahan  sarananya. Jika sarana untuk penegakan hukum tidak lengkap, maka sulit untuk menjerat tersangka. Jika peralatan hukumnya bagus, misalnya KPK memiliki alat penyadap, maka akan dapat menangkap tersangka tindak pidana korupsi,” jelasnya.

Pembenahan yang ke-empat adalah kesadaran hukum masyarakat. Jika masyarakatnya sadar hukum, maka penegakan hukum dapat berjalan.

Lebih lanjut Masdari menuturkan, umumnya modus bagi tersangka korupsi adalah penyunatan anggaran jika berkaitan dengan pendapatan negara/daerah. Sedangkan dalam hal belanja negara/daerah, maka modus yang kerap dipakai adalah  mark up dan pembuatan proyek fiktif.

Dalam hal korupsi dana untuk korban bencana, maka hukuman maksimal bagi terdakwanya adalah pidana mati.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian direvisi oleh UU Nomor 20 tahun 2001 tetapi substansinya tidak berubah dinyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Masdari Tasmin mengatakan, adanya UU Tipikor yang mengatur ancaman pidana mati menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang setuju terhadap pemberlakuan pidana mati.

Tetapi, imbuhnya, hingga kini pidana mati belum pernah dijatuhkan bagi koruptor dana bencana.

Hal itu karena adanya Pasal 197 ayat 1 huruf f Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diatur dalam  Undang-Undang Nomor 8/1981.

“Bahwa Hakim dalam menjatuhkan pidana pidana terhadap terdakwa ,harus mempertimbangkan keadaan yang meringankan  dan memberatkan. Jika pada tindak pidana korupsi, maka maka yang menjadi pertimbangan misalnya jika terdakwa sakit dan menggunakan uang korupsinya untuk berobat. Ini menjadi pertimbangan hakim,” jelasnya.

Maka sesuai KUHAP, kata Masdari, maka hakim harus mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan dengan mengacu prinsip keadilan dan kemanfaatan. Untuk itulah, hemat Masdari,  kata yang dipergunakan pada pasal yang mengatur pidana mati pada UU 20 Tahun 2001 adalah “dapat dijatuhkan”, karena hakim harus melakukan pertimbangan dan memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan sebelum menjatuhkan vonisnya.

Penulis: Cynthia

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment