Corona (Stu)Vid-19 dan Media Sosial

by admin
0 comment 5 minutes read

Oleh: Dr. Muhammad Suriani Shiddiq, S.Ag, M.Si

Presiden Joko Widodo (31/3/20) akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus 2019 Disease (Covid-19). Untuk mempertegas keseriusannya Pemerintah menambah alokasi belanja dalam APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun dari yang semula hanya sebesar Rp 2.540,4 triliun.

ADA EMPAT SKEMA PENTING DALAM PENGGUNAAN DANA. PERTAMA, UNTUK PEMULIHAN EKONOMI SEBESAR RP150 TRILIUN UNTUK PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL, TERMASUK RESTRUKTURISASI KREDIT DAN PENJAMINAN SERTA UNTUK PEMBIAYAAN UMKM DAN DUNIA USAHA. KEDUA, SEBESAR RP75 TRILIUN UNTUK BIDANG KESEHATAN MELIPUTI PERLINDUNGAN TENAGA KESEHATAN, PEMBELIAN ALAT KESEHATAN, PERBAIKAN FASILITAS KESEHATAN DAN INSENTIF TENAGA MEDIS. KETIGA, SEBESAR RP110 TRILIUN UNTUK JARINGAN PENGAMAN SOSIAL (SOCIAL SAVETY NET) MENCAKUP PENAMBAHAN ANGGARAN KARTU SEMBAKO, KARTU PRAKERJA, DAN SUBSIDI LISTRIK. DAN YANG TERAKHIR, SEBESAR RP70,1 TRILIUN UNTUK INSENTIF PERPAJAKAN DAN STIMULUS KUR.

Perppu ini dan instrumen pendukungnya merupakan antitesa dari pro kontra sekaligus jawaban berbagai keraguan, kritik dan masukan berbagai pihak yang mengharapkan pemerintah segera membuat kebijakan yang tegas untuk mengatasi penyebaran virus corona.

Histeria Massa

World Health Organization (WHO) mencatat, hingga akhir Maret 2020 grafik korban Covid-19 terus mengalami peningkatan. Dari 81.485 kasus, ada 164.726 orang yang dinyatakan sembuh dan 37.578 orang meninggal.

Di Indonesia sendiri, ketika tulisan ini diturunkan, sumber www.Covid-19.go.id menyebutkan ada 1.642 kasus orang yang terpapar Covid-19, 136 orang dinyatakan meninggal, 81 sembuh dan 1.311 masih dalam perawatan. Seperti fenomena gunung es, boleh jadi kasus sebenarnya lebih besar dari yang bisa diidentifikasi. Sementara itu, semua daerah di Indonesia tampaknya mulai membuat kebijakan kewilayahan karena terjadi lonjakan pasien yang diduga terjangkit Covid-19.

Tulisan ini tak hendak mempersoalkan apa langkah taktis-strategis yang sudah diambil dan kesiapan Pemerintah Pusat bersama seluruh pemangku kebijakan, mulai dari tingkat kementerian, lembaga negara hingga level pemerintah provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Penulis mencoba memahami fenomena media sosial yang cenderung menambah masalah baru di tengah kegelisahan munculnya virus corona.

Menurut pandangan sosiolog Robert E. Bartholomew (2001) dan psikolog Wolf M (1976), histeria massa merupakan bentuk kegelisahan kolektif massa yang disebabkan fenomena penyebaran ilusi ancaman kolektif, entah nyata atau khayalan, kepada sekelompok orang dalam masyarakat sebagai akibat rumor dan ketakutan (pengetahuan ingatan). Ini yang terjadi dalam kasus Covid-19.

Dalam ilmu kedokteran, istilah ini tersebut sering dipakai untuk menyebut manifestasi spontan (produksi kimia dalam tubuh) dari gejala fisik histeria yang mirip atau sama dari lebih dari satu orang. Jenis umum dari histeria massa terjadi saat sekelompok orang meyakini bahwa mereka terserang penyakit atau gejala yang sama, terkadang disebut sebagai penyakit psikogenik massa atau histeria epidemik (Weir E Mass, 2005).

Masyarakat resah. Informasi perihal Covid-19; dampaknya, gejala-gejala yang muncul, cara mengatasinya, dan korban yang berjatuhan di berbagai belahan dunia menyebar sangat cepat, berhamburan di laman-laman media sosial. Orang-orang dari berbagai kalangan menjadi semakin gelisah. Berita yang memang valid dan dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya ditambah bumbu pemberitaan yang tidak jelas sumbernya, menimbulkan ketakutan berlebihan di tengah masyarakat.

Dr. M. Grohol, Psy.D. yang merupakan pendiri dan editor in chief Psych Central.com memperkirakan inilah yang menyebabkan terjadinya panic buying, karena penularan emosi kecemasan dari satu orang kepada orang lain, yang lebih banyak disebabkan informasi melalui media termasuk media sosial yang menularkan kecemasan dan perasaan ketakutan berlebihan. Kelangkaan masker, cairan pembersih tangan, alkohol, dan kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok menjadi ciri nyata dari histeria massa ini.

Corona (Stu)Vid-19

Corona (Stu)vid-19 bukanlah jenis baru nano-virus. Ini adalah gejala akut para pengguna media sosial yaitu ketidakakcerdasan (kalau tidak disebut kebodohan) dalam menyikapi semua pemberitaan tentang Covid-19. Kedunguan orang ketika memilih untuk menyebarkan atau tidak informasi yang didapatnya dari media sosial. Alih-alih menyaring berita yang super sensitif seperti korban Covid-19 (terutama yang meninggal), justru dengan sangat gampang membagi informasi yang belum terverifikasi tersebut kepada orang lain. Dampaknya tentu saja jauh lebih membahayakan daripada Covid-19 yang diberitakan.

Riset online yang penulis lakukan kepada 1015 pengguna media sosial medio 12 Februari hingga 20 Maret 2020 mengidentikasi 84,9 persen responden mengaku langsung menyebarkan informasi tentang Covid-19 yang diperolehnya di grup whatshapp, facebook dan instragram. 12,1 persen menyatakan tidak langsung membagikan info tentang Covid-19 melalui akun media sosialnya. Hanya 3,4 persen yang mengaku mengabaikannya.

Riset ini juga mempertanyakan, mengapa responden memilih langsung dan tidak langsung menyebarkan info yang didapatnya di media sosial. Responden pertama menyatakan pilihan langsung menyebarkan karena menganggap hal itu penting diketahui orang lain, meskipun belum jelas kebenarannya. Sementara responden kedua memilih tidak langsung menyebarkan beralasan karena perlu memverifikasi terlebih dahulu kebenaran isi informasi tersebut.

Riset ini juga mempertanyakan, informasi atau apa saja yang disebarkan melalui media sosialnya. Bagi kelompok responden pertama, fokus info yang lansung mereka bagikan adalah informasi, meme dan vidio korban meninggal atau pasien diduga Covid-19.

Sebaran riset online ini diberikan secara acak kepada pengguna media sosial di 5 Kota Besar di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya) dan 5 kota lainnya di luar Pulau Jawa (Palembang, Riau, Makassar, Palangka Raya, dan Banjarmasin).

Mengutip teori “Implosi Media”-nya McLuhan (1964), serangan informasi tak terverfikasi di media sosial di samping media mainstream lainnya, memberi pengaruh sangat besar pada pola pikir, pemahaman, bahkan perilaku dari masyarakat. Ini yang penulis sebut Corona (Stu)vid-19, yaitu orang yang tidak sadar bahwa informasi yang mereka sebarkan berpengaruh besar pada orang lain, menimbulkan kecemasan, histeria dan kepanikan berlebihan.

Tak heran, jika kemudian Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 100 hoax alias berita palsu yang berhubungan dengan Covid-19. Bahkan Kapolri Idham Azis pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR (31/03/20) mengungkapkan, telah menangkap 51 orang penyebar hoax Covid-19 dan memblokir 39 akun media sosial yang diduga sumber berita palsu tersebut.

Bagi kita, perlu kecerdasan, kewarasan, kebijaksanaan, dan kehati-hatian dalam menyebarkan informasi apapun yang berhubungan dengan Covid-19 apalagi yang berhubungan dengan pasien dan korban. Jangan sampai kita termasuk orang dalam kelompok yang disinyalir dalam viral of silent-nya Elisabeth Noelle Neumann (1973), sebagai “virus” yang dapat membunuh orang lain lebih hebat daripada virus corona itu sendiri. Stop jadi Corona (Stu)vid-19. Wallahu a’lam.

*) Pemerhati Kebijakan Publik dan Literasi Media

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment