Pembatasan Akses Untuk Tangkal Hoaks

by baritopost.co.id
0 comment 5 minutes read

“Palidangan Noorhalis” Bahas Perubahan Sosial di Masa Sulit

Banjarmasin, BARITO – Dua peneliti sosial di Kalimantan Selatan, Taufik Arbain dan Suriani Shiddiq  menekankan pentingnya pembatasan akses informasi oleh pemerintah.

Pembatasan akses informasi dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari informasi-informasi negatif ataupun hoaks yang menyesatkan bahkan menimbulkan kepanikan masyarakat.

Pada Program “Palidangan Noorhalis” yang dipandu aktivis senior Noorhalis Majid, Kamis (19/3/2020), dua akademisi dan pengamat sosial itu diundang sebagai pembicara pada acara yang disiarkan langsung oleh Programa 1 RRI Banjarmasin, pukul 10.00-11.00 wita. Noorhalis Majid mengungkapkan, bahwa saat ini Hari ini seluruh dunia mengalami masa-masa sulit. Masa sulit itu diantaranya adalah krisis ekonomi, wabah penyakit dan kepanikan sosial. Semua itu berdampak pada perubahan sosial.


“Bila tidak mampu dan kurang kendali menghadapi masa sulit seperti ini, maka krisis, wabah, kepanikan akan meluas,” ucapnya.

Kemudian Taufik Arbain menuturkan bahwa tidak bisa dipungkiri, memang telah terjadi perubahan sosial.

“Efek dari wabah Corona ini  telah memberi pengaruh pada banyak faktor. Apalagi kita hidup sebagai masyarakat komunal. Ini merupakan  musibah, kejadian luar biasa. Seluruh dunia panik. Merubah prilaku keseharian,” cetus Taufik Arbain.

Taufik melihat, kepanikan ini terjadi karena berbagai aspek. Ada yang disebut variabel pendukung yaitu lahirnya kebijakan, termasuk di dalamnya berbagai himbauan, maklumat, dan sebagainya, bagian dari patron negara untuk turut menyelesaikan masalah.

“Memang seperti itu yang bisa dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia, agar masyarakat sadar, mengerti dan paham, sehingga mematuhi anjuran pemerintah, himbauan ataupun fatwa,” bebernya.

Taufik melihat, negara maju lebih mudah dalam hal menanamkan kesadaran warganegaranya, karena tingkat sumber daya manusia. Selain itu, kuatnya pengetahuan setiap personal, baik menyangkut kemampuan mengatur dirinya, maupun membangun kesadaran individu dan lingkungan.

Adanya kondisi krisis saat ini, imbuh Taufik, membuat rakyat panik, karena ini menyangkut kehidupan, dan orang pasti ingin bertahan hidup lebih lama.

Kalau sudah sakit, maka pikirannya mati, karena tahu kemampuan rumah sakit dan layanan kesehatan yang tersedia.

Akibat  panik, tentu berdampak pada sosial dan ekonomi. Waktu untuk memulihkannya akan sangat lama, perlu proses yang tidak sebentar.

“Hikmah dari peristiwa ini, terbangun solidaritas di antara sesama warga dunia. Selama ini bersaing, peristiwa ini menyatukan kepedulian bersama untuk saling tolong menolong. Solidaritas ini modal yang sangat bagus, tinggal membangun konstruksi pilihan kebijakan, agar mampu cepat mengatasi masalah ini,” lanjut Taufik Arbain.

Sementara itu, Suriani Shiddiq mengatakan bahwa perubahan ini suatu yang niscaya, karena pengaruhnya besar sekali ,sehingga perubahannya tentu sangat besar. Perubahan itu sendiri tidak selalu negatif, bisa pula positif. Tergantung subyek. Karena itu, sekarang  bagaimana merespon persoalan ini dengan cara cepat dan tepat, penuh kehati-hatian. Negara lain, tukasnya, kesadaran individunya sangat tinggi.

“Sementara kita, kulturnya berbeda. Seringkali ketika himbauan atau fatwa dikeluarkan, bukannya ditaati, malah diragukan, didebat. Aklhirnya justru tidak jalan. Betul bahwa semua yang terjadi ini merubah banyak sekali kultur dan budaya, tentu termasuk  perubahan ekonomi. Karena itu agar perubahannya tidak menjadi negatif, informasi yang berseleweran, dapat dibatasi agat tidak mudah dikonsumsi masyarakat. Perlu kebijakan pembatasan saluran komunikasi,” lanjut Suriani Shiddiq.

Taufik Arbain kemudian menambahkan, tidak  bisa dihindari, media sosial merupakan instrumen abad 21. Sekarang ini masyarakat kita cepat dalam mendapatkan informasi tapi lambat dalam memahami maksudnya.

“Saya setuju ada kebijakan membatasi akses, agar kebebasan informasi di dunia maya tidak dipenuhi kabar dan berita hoaks, karena dapat melemahkan apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Dalam mengkomunikasikan persoalan ini, pemerintah benar-benar mengunakan saluran komunikasi formal. Kenapa sulit sekali mematuhi anjuran pemerintah, karena kepercayaan pada pemerintah juga rendah,” jelasnya.

Dia meminta agar pemerintah harus terbuka dalam menyampaikan informasi sehingga para tokoh agama dan tokoh masyarakat, dapat meneruskannya sebagai peringatan yang harus diperhatikan.

“Yang paling berdampak saat ini adalah psikologi masyarakat. Ketakutan, kepanikan, tapi bersamaan itu juga kurang begitu peduli atas himbauan pemerintah, maka problemnya ada pada psikologi dan komunikasi,” kata Taufik Arbain.

Chaos, kekacauan sosial, sambungnya,sangat mungkin terjadi kalau pemerintah tidak mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi. Berbeda halnya dengan di negara maju yang juga mengalami musibah ini.

“Mereka sudah memiliki SOP, protap dalam menangani hal-hal yang bersifat darurat, atau bencana yang membahayakan keselamatan jiwa manusia,” kali ini Suriani Shiddiq kembali berbicara.

Program “Palidangan Noorhalis” mendapat reapon dari pendengar.

Saddam, di Banjarmasin, mengatakan bahwa banyak masyarakat yang gagal sadar, setelah itu gagal paham. Fatwa MUI itu seharusnya dipatuhi, caranya dengan menyadari diri kita. Bila kemungkinan berpotensi mengganggu kesehatan orang lain, maka harus mengurung diri.

Arya di Kapuas, fatwa MUI sudah bagus, hanya tinggal cara menyampaikannya yang harus efektif sehingga dipatuhi. Karena di Kapuas ini, sekalipun ada fatwa, orang masih ramai seperti tidak terjadi apa apa. Seperti tidak ada bahaya yang harus diwaspadai.

Surian Shiddiq memberikan  tanggapan. Menarik soal sadar diri tadi. Memang semuanya diawali dari sadar diri dulu. Bila kesadaran akan diri rendah, cendrung tidak patuh.  Tokoh agama, tokoh masyarakat harus ambil bagian. Ketika menggunakan MUI sebagai cara  memberikan himbauan kepada masyarakat, sebenarnya sudah sangat tepat, karena MUI secara orgnaisasi ada sampai tingkat kabupaten/kota. Hanya saja, kepercayaan kepada MUI sendiri rendah. Perlu kecerdasan negara dalam soal komunikasi sosial. Sementara untuk pemerintah, hendaknya menyusun protap, agar tiak panik, dan mampu menjawab persoalan serupa bila dikemudian hari terjadi lagi, kata Surian Shiddiq.

Sementara itu, Taufik Arbain mengatakan, kecuali masyarakat sudah menghadapi langsung kondisi yang membuatnya tidak dapat berbuat apa-apa, baru tumbuh gerakan untuk mematuhi himbauan pemerintah. Mungkin kecuali sudah sekarat, baru muncul kesadaran itu. kalau tidak, masih dianggap jauh, tidak perlu diperhatikan. Itulah kondisi masyarakat kita. Baru tahap sadar kesehatan. Masih jauh sadar akan batasan interaksi personal, dengan mengurangi aktivitas. Terbukti seperti disampaikan Bapak Arya, kota masih ramai, pasar juga tetap ramai.

“Framing media juga melemahkan kesadaran sosial, kesadaran kolektif. Karena itu, pemerintah harus meningkatkan komunikasinya kepada masyarakat, sehingga kembali mendapat kepercayaan dan himbauannya dipatuhi,” pungkas Taufik Arbain pada akhir diskusi.

Penulis: Cynthia

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment