Oleh :
- *Tim Peneliti Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kalsel
- *Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
- *Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) Banjarmasin
Indonesia memiliki sejumlah produk hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak diskriminasi dan kekerasan. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimuat pada Pasal 28I ayat (2) bahwa setiap orang bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Selanjutnya Undang-undang Nomor 39 Tentang tahun 1999 Hak Azasi Manusia, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan telah menjadi konsekuensi bahwa Indonesia sebagai negara hukum, yang memiliki tujuan melakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan yakni dengan upaya: (1) mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak; (2) memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan dan anak dari korban kekerasan yang berbasis gender; (3) memberikan rasa aman terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perpres Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dalam Konflik Sosial, Permen Pemberdayadayaan Perempuan Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Anak, Permen PPPA Nomor 13 Tahun 2020 Perlindungan Perempuan dan Anal Dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana. Permen PPPA Nomor 6 tahun 2024 Tentang Pedoman Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat.
Disamping peraturan berupa undang-undang, Perpres dan Permen, di semua provinsi pun memiliki kebijakan terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan. yakni Perda, Pergub,, Perwalkot dan Perbub. Provinsi Kalimantan Selatan misalnya, Pergub tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diatur pada Perda Nomor 11 Tahun 2018. PERGUB Prov Kalsel No 54 Tahun 2012Ttentang Rencana Aksi Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan, Peraturan Bupati Kabupaten Banjar (Perbup) Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan, Peraturan Bupati Kabupaten Kotabaru nomor 08 Tahun 2014 Tantang Perlindungan Perempuan dan Anak, dan sejumlah kabupaten kota lainnya yang juga sudah memiliki kebijakan terkait perlindungan pada perempuan dan anak dari tindak kekerasan serta dikriminasi..
Selain peraturan, pemerintah juga telah menyediakan Unit Pelaksana Teknis Daerah untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Yang mana fungsi UPTD melakukan penyelenggara Pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan. Kita patur bersyukur bahwa di Prov Kalimantan Selatan Semua kabupaten kota sudah memiliki UPTD PPPA.
Ketersedian produk hukum/kebikajan itu menujukkan peran atau upaya pemerintah dalam hal melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan maupun diskriminasi melalui berbagai peraturan atau produk hukum sudah cukup optimal. Akan tetapi, menjadi tandatanya besar, ketika produk hukum perlindungan terhakorban kekerasan pada perempuan maupun pada anak justru semakin meningkat, seperti kasus di Kalaimantan Selatan..
Hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti BRIDA (Badan Riset dan Inovasi Daerah Prov Kalsel. Tahun 2024. mengindikasikan : Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun tahun 2022 mencapai 616 korban, naik di tahun 2023 keposisi i 621 koran dan dari Januari – Juli 2024 berjuimlah 404 korban. Beberapa sumber dari UPTD PPA kabupaten kota memprediksikan angka korban kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap anak akan naik berkali lipat dibanding dua tahun sebelumnya. Indikasi tersebut terlihat pada jumlah angka semester pertama saja sudah mencapai sebanyak itu, kemudian hampir semua kabupaten kota di Kalimantan Selatan menunjukkan fenomena kenaikan jumlah korban kekerasan, Indikasi tersebut menujkkan seolah-olah peraturan atau kebijakan pemerintah belum terinmplementasi sesuai harapan
Patut diketahui Bersama, beberapa factor pemicu peningkatan atau sebab akibat jumlah korban kekerasan sebagaimana hasil penelitian antara lain: factor ekonomi yang tidak stabil di dalam rumah tangga, sementara soal ekonomi merupakan tututan kebutuhan hidup yang sementinya terpenuhi. Factor lain, banyak perempuan terperdaya oleh makelar kerja dengan janji-janji manis memperkajaaterdapat pula mkarena enuruti keinginan atasan takut melakukan perlawanan, Faktor lingkungan, jarak rumah antar satu dengan yang lainnya berjauhan dan bangunan rumah yang tidak memiliki sekat turut umenicu perlaku menyimpang.
Konteks tingginya jumlah korban kekerasan, hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 3 jenis korban kasus kekerasan terhadap p[erempuan dan anak selama Januarii – Juli 2024 dengan kasus yang cukup cukup tinggi, pertama korban kekerasan psikis berjumlah 163 kasus, kekerasan seksual 159 kasus dan kekerasan fisik 108 kasus. Bantuk kekerasan kekerasan psikis yang banyak terjadi berupa dimarahi dengan kata-kata kasar, dibentak dan diusir, sedangkan korban kekerasan seksual berupa persetubuhan, dan pelecehan seksua dan korban kekerasan fisik berupa pemukulan pada bagian muka, dan sekitar bahu.
Satu kasus yang paling memprihatinkan di dalam temuan penelitian adalah tingginya kasus korban kekerasan seksual yang terjadi dikalangan anak yakni anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD) antara kelas 5 dan 6 dan tingkat SLTP kelas 7-8. Data tentang kasus koban kekerasan seksual spada anak selama tahun 2022 berjumlah 172 kasus tahun 2023 naik menjadi 186 kasus dan dari Januari- Juli 2024 sudah berada diposisi 135 kasus.
Disimak lebih jauh pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri orang tua kandung /sambung, keluarga dekat, tetangga dekat, teman/ pacar. Guru, majikan, reak kerja, lainnya. Dari sejumlah kriteria pelaku tersebut angka tertinggi pelaku kekerasan seksual bersumber dari pacar/teamn.
Keterangan sejumlah Kepala UPTD Kalimantan Selatan menyatakan banyak factor penyebab anak menjadi korban kekerasan seksual, pola asuh anak yang diserahkan pada tatangga/orang lain, sedangkan orang tua seharian pergi mencari napkah. Anak diperdaya dengan mainan atau uang belanja. Anak tertarik dengan lawan jenis dan melakukan sesuatu sebagainama yang mereka tontonan (dampak buruk media sosial) dan kepedulian lingkungan yang acuh dengan pergaulan anak.
*