Cara Budayawan Tabalong Kagumi Gus Dur

by baritopost.co.id
0 comment 4 minutes read

Banjarmasin, BARITO – Budayawan asal Kalimantan Selatan (Kalsel) tepatnya dari Kabupaten Tabalong, Hairus Salim menulis buku “Sang Kosmopolit” yang berisi berbagai tulisan tentang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Buku tersebut dibahas tuntas oleh Padilah Rizani,peneliti dan Hajriansyah yang merupakan budayawan pada Program “Palidangan Noorhalis”. Acara dari aktivis Noorhalis Majid itu disiarkan langsung dari

Pro 1 RRI Banjarmasin, Kamis,(6/2/2020) Pukul 10.00 – 11.00 wita

Dalam pengantarnya, Hajiriansyah menuturkan, Hairus Salim, budayawan Nahdliyyin asal Tabalong Kalsel itu sangat mengagumi Gus Dur. Baginya, Gus Dur adalah Sang Kosmopolit.

” Pemikirannya tentang Islam sangat universal. Menurutnya universalisme Islam, akan menjadi nyata dan menyumbang pada kemanusiaan,  jika ada dukungan sikap kosmopolit seperti keterbukaan, kesediaan berdialog dan keberanian membuat terobosan pengetahuan,” ungkapnya.

Dalam buku ini, imbuh Hajriansyah, Hairus Salim mengaku kenal dekat dengan Gus Dur sejak duduk di bangku kuliah. Bahkan dia menceritakan telah mengenal Gus Dur waktu masih sekolah. Ada buku milik ayahnya, buku tentang KH Ahmad Wahid Hasyim. Yang menarik, dalam buku tersebut tidak ada nama Gus Dur, yang ada justru nama Hasyim Wahid. Ada nama Abdurrahman Ad Dahil. Setelah lama, baru dia tahu bahwa itulah nama sebenarnya dari Gus Dur.

“Karena ternyata Gus Dur hanya mengambil nama depannya Abdurrahman dan disambung dengan nama ayahnya Wahid. Tidak pernah Gus Dur memakai nama Abdurrahman Ad Dahil, sehingga hampir tidak ada yang mengenal nama tersebut,” kata Hajriansyah.

Dalam bukunya, Hairus Salim menuliskan catatan ringan, baik esai, makalah, ataupun tulisan di  media sosial facebook, mengulas tentang sosok Gu Dur. Tulisan tersebut dikumpulkan, dan jadilah buku Sang Kosmopolit. Suatu kumpulan catatan yang ditulis dengan gaya bahasa khas, sehingga terasa sangat dekat dengan Gus Dur.

Salim mengaku dulu dia membayangkan Gus Dur itu seorang yang besar, karena waktu itu melihatnya dari jauh. Namun setelah dekat dan akrab, ternyata orangnya sangat cair. Bahkan Gus Dur sering bertanya kepada Salim tentang buku apa yang lagi ramai dibaca. Lalu menyelenggarkan berbagai diskusi buku dibanyak tempat. Mau saja Gus Dur menenteng buku kemana-mana, sekedar menceritakan dalam berbagai forum bahwa ada buku bagus yang harus dibaca.

Dari situ muncul kekaguman. Bahwa ternyata Gus Dur sosok humanis, kosmopolit, seorang yang sangat terbuka, bisa bergaul dengan siapa saja dan tidak ada sekat sama sekali. Kelebihan dari buku ini adalah kemampuan bercerita dari Hairus Salaim, sehingga sangat enak dibaca, ringan dan yang pasti mampu memotret Gus Dur dari sangat dekat, kata Hajriansyah melanjutkan paparannya.

Narasumber lainya, Anwar Masduki Azzam, seorang peneliti, mahasiswa University of Groningen, khusus meneliti  Gus Dur dan mengumpulkan banyak buku Gus Dur dan buku tentang Gus Dur, mengakui sudah banyak buku tetang Gus Dur. Bahkan Azzam berencana membuat pojok perpustakaan khusus buku tetang Gus Dur.

Buku Hairus Salim ini kata Azzam, berhasil menjelaskan posisi Gus Dur terhadap berbagai wacana yang berkembang. Bahwa Gus Dur mampu mendialogkan sesuatu yang biasa dipertentangkan. Menjadi muslim itu semestinya kosmopolit, mampu menjadi warga dunia. Sering Islam itu dipertentangkan dengan Barat.

“Kenapa harus diperbandingkan? Sangat tidak padan. Barat itu padan bila dibandingkan dengan Timur, dengan Utara atau Selatan, bukan dengan Islam. Ada hal yang menjadi tertawaan orang di Eropah, karena banyak orang menghadapkan Islam dengan Eropah. Dua hal yang berbeda tapi dihadap-hadapkan,” ujarnya.

Gus Dur,dianggap berhasil mendudukkan Islam dan negara, sehingga tidak saling menegasikan. Tidak saling mendominasi. Peristiwa di Minahasa baru-baru tadi, menggambarkan bahwa apa yang diajarkan Gus Dur masih sangat relevan dalam kontek kekinian. Agar semua kita saling menjaga hubungan antar agama, hidup damai dalam perbedaan, bukan saling mengalahkan satu dengan lainnya.

Menururnya, penulis Hairus Salim kembali mengingatkan agar Islam itu dipahami dengan sebaik-baiknya, maka akan ada titik temu dari banyak perbedaan, baik berbedaan agama, budaya, aliran dan lain sebagainya.

” Keberanian mendialogkan berbagai perbedaan itu membuat kita mampu memahami bahwa kita memang berbeda,” kata Azzam.

Padilah Rizani, anak muda NU yang juga mengagumi Gus Dur, melihat buku ini tidak saja soal  kiyai kampung yang kemudian menjadi tokoh dunia, atau kiyai yang menjadi presiden. Melainkan eseorang yang terus mengajarkan agar muslim harus memanusiakan manusia.

Jika memandang semua manusia sama, maka tidak akan ada radikalisme, terorisme, eksklusifisme, serta tindak kekerasan atas nama agama.

“Gus Dur mengajarkan agar beragama dengan santai. Tidak perlu keras, apalagi sampai menutup diri dan menjauhi orang lain yang berbeda. Dengan santai, maka berbagai persoalan berat menjadi ringan. Tugas orang beragama memang meringankan masalah yang berat agar mampu diselesaikan dengan mudah,”jelas Padilah.

Beberapa pendengar RRI menyampaikan tanggapannya. Misalnya, Saddam di Banjarmasin, mengaku sudah mengenal Gus Dur jauh sebelum jadi presiden.

” Beliau sosok yang menarik. Yang paling paling berkesan, ketika menyampaikan “gitu aja kok repot”, ungkapan itu sangat dalam, bahwa segala persoalan mudah diselesaikan bila kita ingin menyelesaikannya.  Jangan mempersulit yang mudah, apalagi mencari-cari masalah,” katanya.

Suriani Hair, di Kelayan Banjarmasin, berpendapat, sebuah buku yang bercerita tentang sejarah personal sangat ditentukan oleh penulis dan penuturnya. Kalau ditulis dan dituturkan dengan menarik,  tukasnya, maka bukunya juga akan menarik.

” Apalagi bila sasarannya anak muda, karena memang mereka generasi yang harus merawat bangsa ini. Maka bahasa yang ditulis harus bisa diterima anak muda,” tandasnya.

Sebuah buku, sambungnya, harus bisa menjelaskan tentang apa yang menjadi pikiran sang tokoh dan apa yang terjani sekarang ini, apakah masih relevan menjawab persoalan-persoalan sekarang, kalau masih, maka bukunya akan diterima dan dibaca.

Penulis: Cynthia

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment