Banjarmasin. BARITO – Di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) nampaknya tak mudah untuk mendapatkan jabatan, perlu dana besar.
Terbukti untuk menjadi seorang Plt saja, Maliki harus merogoh kocek dikantongnya sebesar Rp500 juta.
Uang itu ujar Maliki diserahkan langsung kepada Bupati non aktif H Abdul Wahid selaku Bupati HSU.
“Uang itu saya serahkan dalam dua kali pembayaran,” ujar Maliki saat menjadi saksi melalui virtual dalam perkara OTT yang dilakukan KPK, dengan dua terdakwa Fachriadi selaku Direktur CV Kalpataru dan Marhaini selaku Direktur CV Hanamas, pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Rabu (5/1).
Selain menjabat sebagai Plt, saksi juga mengakui bahwa ia masih aktif sebagai Kabid Sumber Daya Air dan merangkap sebagai pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen (PPK).
“Dan semua jabatan yang dia rangkap itu diketahui oleh bupati,” ujar Maliki yang saat ini juga telah dijadikan tersangka bersama Bupati non aktif H Abdul Wahid saat bersaksi di Gedung KPK Jakarta.
Soal komitmen fee proyek secara terus terang saksi mengatakan hal ini bukan rahasia umum. Seperti pada pengerjaan beberapa proyek di dinas sumber daya air yang ditunjuk langsung bupati. Rata-rata semua harus setor fee proyek 15 persen.
“10 persen untuk pa bupati, 5 persen untuk saya pribadi,” aku Maliki.
Menyinggu tulisan nama-nama kontraktor didalam floting pekerjaan, padahal lelang belum dilakukan, Maliki mengaku memang dia yang menulis untuk diusulkan ke bupati.
“Saya yang mengusulkan ke bupati. Setelah disetujui baru para kontraktor dipanggil untuk diberitahu soal fee proyek,” katanya.
Sayang keterangan saksi terputus akibat audio yg kurang bagus sering putus-putus. Sehingga oleh majelis hakim yang diketuai Jamser Simanjuntak SH akhirnya ditunda hingga minggu depan.
Demikian juga dengan rencana keterangan Bupati non aktif H Abdul Wahid terpaksa juga ditunda.
Sementara saksi M Mujib Rianto yang dihadirkan secara fisik tidak mengetahui soal adanya komitmen fee tersebut. Saksi hanya mengatakan kalau dia disuruh kedua terdakwa untuk menangani administrasi dengan mendapatkan upah.
“Tak hanya mengurusi administrasi, kedua terdakwa juga pernah menyuruh saya untuk menyerahkan uang kepada saksi Maliki selaku Plt
Kepala Dinas PUPRP Kabupaten HSU,” akunya.
Kedua terdakwa tersebut menurut dakwaan mengadakan pertemuan dengan Plt Kepala PUPRP Kabupaten HSU Maliki. Dalam pertemuan tersebut disepakati kalau kedua terdakwa masing masing akan memperoleh proyek tetapi menurut Maliki pihak Bupati minta fee seebar 15 persen dari nilai proyek. Proyek yang akan dikerjakan tersebut di tahun 2021, diantaranya ada pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi daerah irigasi rawa (DIR) Kayakah Desa Kayakah Kecamatan Amuntai Selatan dengan nilai pagu Rp2 M.
Untuk menggolkan proyek tersebut atas persetujuan H Abdul Wahid akhirnya perusahaan terdakwa CV Kalpataru ditunjuk sebagai pemenang pekerjaan dengan nilai pekerjaan sebesar Rp1.555.503.400
Dan berdasarkan kesepakatan, setelah pencaiaran uang muka sebesar Rp346.453.030. terdakwa melalui M Mujib Rianto menyerahkan fee pertama sebesar Rp70 juta kepada Abdul Wahid melalui Maliki.
Demikian juga setelah pencairan termin I sebesar Rp1.006.017.752 terdakwa melalui M Mujib Rianto juga menyerahkan uang fee sebesar Rp170.000.000.kepada Abdul Wahid melalui Maliki.
Sementara Marhaini selaku Direktur CV Hanamas yang mendapat proyek pekerjaan dengan nilai sebesar Rp1.971.579.000 juga memberikan fee secara bertahap dengan nilai keseluruhan Rp300 juta kepada Abdul Wahid. Uang juga diserahkan melalui M Mujid Rianto.
Penulis: Filarianti Editor : Mercurius