Putus Sekolah Berpotensi Meningkatnya Angka Pernikahan Anak

Oleh : Hartiningsih (Peneliti BRIDA Provinsi Kalsel)

 

Pernikahan usia anak  atau lebih familiar dengan sebuatan pernikahan dini (menikah di bawah usia 19) tahun berdampak negatif terhadap berbagai segi.

Dari segi kesehatan misalnya berpotensi pada risiko komplikasi persalinan, risiko stunting pada anak. Yang lebih mengerikan lagi,  berisiko kematian pada ibu  dan anak bayi karena organ reproduksi yang belum matang.

Segi pendidikan realita yang banyak terjadi pernikahan dini sering kali  mengakhiri sekolah, anak yang telah menikah tidak terpikirkan lagi untuk melanjutkan sekolah. Kegiatan mereka disibukkan mengurus keluarga/rumah tangga (anak dan suami). Masalah  kesehatan mental, kestabilan emosi dan kerentanan terhadap potensi kekerasan dalam  rumah tangga (KDRT). Secara  ekonomi  pasangan muda sering kali dihadapkan dengan permasalahan ekonomi yang secara finansial belum mapan

Konteks dampak perkawinanan usia anak dengan potensi segala risikonya,maka jika merujuk laporan United Nations Children”s  (UNICEF)  tahun 2023 menyebutkan,  bahwa sebanyak 25,53 jiwa perempuan di Indonesia  menikah dini  di bawah usia 19 tahun,  angka tersebut menempatkan  Indonesia pada peringkat keempat  dunia dan menempati peringkat  ketujuh dalam kasus pernikahan anak secara umum.

Di tingkat Asean Indonesia menempati urutan ke dua setelah Kamboja.

Kondisi perkawinan anak tahun 2024 di masing- masing provinsi di Indonesia dengan usia perkawinan 20 – 24 tahun,  berstatus nikah/kawin  atau berumah tangga di usia dibawah usia 19 tahun di sejumlah provinsi  dengan persentase  yang menempati angka 0,64% hanya ada   di Provinsi DI  Yogyakarta.

Sementara, persentase di atas 1  persen adalah  DKI Jakarta 1,68% Sumatera Utara  1,81%, terdapat 3   provinsi yang menempati persentase di atas  2 persen yakni :  yakni: Aceh  2,62%  Papua 2,70 % dan Kepulauan Riau 2,89%, selanjutnya yang menduduki persentase  di atas 3 persen, yakni Bali 3,37 %, Papua Barat Daya 3,40 %     Sumatera Barat  3,49 %,  dan Banten  3,73%.

Istilah kata lain, persentase   perkawinanan  anak yang anggaplah masuk dalam 3 besar dengan posisi persentasi  terkecil adalah : DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Aceh  Papua Kepulauan Riau, Bali, Papua Barat Daya Sumatera Barat  dan Banten.

Terkait  angka perkawinanan Indonesia berdasarkan skala dunia, Asean dan perkawinan anak di Indonesia dan dilihat dari presentase,   data Kementerian Agama RI, menujukkan bahwa   angka perkawinan usia anak ditingkat  nasional dalam tiga (3) tahun terakhir terjadi penurunan  cukup signifikan.

Dari  angka 8,804 pasangan  nikah di bawah usia 19 tahun  pada tahun 2022, menjadi 5.489 pasangan, di tahun  2023,  terus  turun  menjadi 4 .150 pasangan  di tahun 2024.

Demikian pula di Provinsi Kalimantan Selatan selama lima tahun terakhir 2020-2024.  Angka perkawinan anak di Kalimantan Selatan  secara nasional berada pada peringkat 6 (16,24), di tahun 2021 ada kenaikan  kenaikan  dengan posisi di ranking 4 (35,30).  Kembali  turun di tahun 2022  ke posisi ranking 10 (19,53),  pada tahun 2023 turun lagi menjadi ranking ke 13 (8,74), dan tahun 2024 menduduki ranking 14 (7,90).

Namun demikian, sekalipun terjadi penurunan, khusus di Kalimantan  Selatan terdapat permasalahan yang  cukup serius  yakni tingginya   jumlah anak yang putus sekolah. Anak putus sekolah  bisa jadi mendorong tingginya angka perkawinan usia anak.

Menurut data   BPMP (Balai Penjaminan Mutu Pendidikan) Kalimantan Selatan  Kalsel)  bahwa jumlah anak di Kalimantan Selatan yanmg putus sekolah   mencapai 60. 996 orang. Jumlah angka  yang cukup tinggi tersebut terbagi  dalam kategori :  drop out, lulus tidak melanjutkan dan belum pernah sekolah .

Adapun angka tertinggi anak putus sekolah terdapat di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Banjar  mencapai 12. 752 angka sampai sampai pada Juni 2025, Kotabaru 8.341 anak dan Kota Banjarmasin 7. 378 anak. Anak putus sekolah berdasakan jenjang sebagian besar berada di posisi SD dan SLTP (Banjarmasin Post,co.id Jejak Borneo News  29/9/2025).

Anak putus sekolah/tidak bersekolah lagi  rentan  melakukan  pernikahan dini terutama pada anak perempuan sebagaimana fenomena yang banyak terjadi.

Anak perempuan  yang tidak berkegiatan, oleh orang tua disuruh  segara menikah,  mereka yang telah  menikah dianggap meringankan  beban keluarga, dan hilang rasa was-was anak berbuat hal yang tidak diinginkan atau si anak  sendiri yang berkeinginan cepat menikah.

Dengan kata lain tingginya angka putus sekolah mendorong anak perempuan cepat menikah/kawin.

Realitas tersebut kebalikan dari sebuah  indikasi  bahwa tingginya angka putus sekolah karena  mereka melakukan pernikahan,  kebalikannya karena  diawali dengan putus sekolah/tidak berkegiatan  menjadikan mereka  ingin cepat-cepat menikah.

Suatu kekhawatiran yang perlu perhatian khusus  jangan sampai karena banyaknya anak yang tidak bersekolah tersebut menjadi ledakan terjadinya pernikahan dini atau terluangnya kasus Kalimantan Selatan menjadi peringkat pertama pernikanan dini sebagaimana  tahun 2017 dan  tahun 2019 silam.

Dengan demikian,  kerjasama semua pihak  baik lembaga pemerintah yang bersentuhan langsung  (DP3A),  maupun keterlibatan  lainnya sebagai miitra kerja seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, organisasi  masyarakat, organisasi wanita,  lembaga masyarakat lainnya, media massa  dan media sosial bahu membahu  menyosialiasasikan dan mengedukasi masyarakat secara intens  untuk tidak melakukan pernikahan di usia dini.

Related posts

Kerusakan Ekosistem Karena Ulah Manusia

Pengelolaan dan Pengaturan Pembukaan Lahan Gambut: Antara Larangan Pembakaran dan Kearifan Lokal di Indonesia

‘Menolak Pembakaran Lahan Gambut demi Masa Depan yang Lebih Aman’