Membakar Lahan, Menjaga Gambut: Mencari Jalan Tengah antara Adat dan Negara

Oleh: Aura Na’ilah Shifa

Pembukaan lahan dengan cara membakar telah lama menjadi bagian dari tradisi masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia. Praktik ini bukan sekadar cara bertani, melainkan bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Namun, tradisi tersebut kerap disalahpahami, bahkan pernah menjadi polemik ketika dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan. Padahal, sebagian besar masyarakat adat menjalankan praktik ini secara terkendali dan mengikuti aturan lokal yang ketat agar api tidak meluas. Di sisi lain, negara telah menetapkan regulasi untuk menjaga lingkungan, termasuk melarang pembakaran lahan yang berpotensi merusak ekosistem gambut. UU 32/2009, PP 57/2016, serta sejumlah peraturan turunan seperti Permen LH No. 10/2010 pada dasarnya berupaya menekan risiko kebakaran sambil tetap memberikan ruang bagi praktik tradisional yang aman. Pemerintah memahami bahwa kearifan lokal tidak bisa dihapus begitu saja, sehingga pembakaran dalam skala kecil masih diperbolehkan dengan syarat ketat, seperti batas maksimal luasan dan kewajiban membuat sekat bakar.

Persoalan utama bukan terletak pada keberadaan aturan maupun tradisi masyarakat adat, melainkan bagaimana keduanya bisa dijalankan secara bersamaan tanpa menimbulkan konflik. Dalam praktiknya, koordinasi antar lembaga yang bertanggung jawab dan pengawasan terhadap pembakaran lahan secara tradisional masih belum berjalan optimal. Jika pengelolaan aturan ini tidak dilakukan dengan tepat, celah pengecualian yang diberikan untuk menjaga tradisi bisa dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan bisnis yang merugikan lingkungan.

Proses pemberian izin pembakaran juga telah diatur melalui mekanisme resmi, di mana masyarakat harus melapor dan mendapat persetujuan dari pejabat berwenang di tingkat desa hingga kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar pembukaan lahan melalui pembakaran tidak dilakukan sembarangan sehingga risiko kebakaran besar yang merusak fungsi ekologis gambut bisa diminimalkan. Mengatur pembatasan ini menjadi cara untuk menghormati kearifan lokal sekaligus menjaga fungsi ekosistem yang sangat vital.

Melihat dinamika ini, jelas bahwa kearifan lokal dan perlindungan lingkungan bukan dua kutub yang saling meniadakan. Keduanya justru dapat berjalan beriringan jika dikelola dengan tepat. Tradisi pembakaran lahan perlu tetap diakui, tetapi juga harus dibingkai dengan panduan teknis dan pengawasan yang jelas. Dengan pendekatan itu, praktik membuka lahan secara tradisional dapat terus menjadi bagian identitas masyarakat adat tanpa mengorbankan keberlanjutan gambut atau ekosistem yang menjadi penyangga penting bagi lingkungan Indonesia. Tradisi lokal tetap dapat dijaga tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Pendampingan dan pengawasan yang intensif membantu meminimalkan risiko kerusakan ekologis yang mungkin timbul akibat praktik pembakaran. Hal ini penting agar keseimbangan antara budaya dan perlindungan ekosistem gambut dapat terwujud secara berkelanjutan.

Penulis Mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Related posts

Kerusakan Ekosistem Karena Ulah Manusia

Pengelolaan dan Pengaturan Pembukaan Lahan Gambut: Antara Larangan Pembakaran dan Kearifan Lokal di Indonesia

‘Menolak Pembakaran Lahan Gambut demi Masa Depan yang Lebih Aman’