Logika Rational-Choice Institutionalism (Untung-Rugi) Dalam Kasus Sengketa Pilkada Banjarbaru 2024

by baritopost.co.id
0 comments 6 minutes read

Oleh: Chusnul Hakim

Perjalanan pemilihan walikota Banjarbaru pada ajang pilkada 2024 kemarin tidak berjalan dengan mulus. Dalam artian, banyak drama yang terjadi dalam perhelatan 5 tahun sekali ini. Biasanya, pemilihan yang dilaksanakan melalui pemilu berakhir paling jauh hingga putaran kedua karena pada putaran pertama terdapat calon-calon yang memiliki basis suara yang sangat kuat.  Berbeda dengan pilkada Banjarbaru 2024, Pilkada yang mempertemukan kubu petahana yang diisi oleh Aditya Mufti Arifin yang berpasangan dengan Said Abdullah, dengan kubu penantang yang diisi oleh kubu Lisa Halaby yang berpasangan dengan Wartono. Pertarungan yang awal mulanya berjalan seperti pilkada pada umumnya tiba-tiba berubah menjadi dramatis: Didiskualifikasinya kubu petahana. Mungkin terlihat kesalahan sepele, namun ini blunder yang cukup besar yang tidak diperhitungkan oleh tim pemenangan petahana ataupun petahana itu sendiri, yaitu tagline “JUARA”.

Diskualifikasi ini terjadi berdasarkan laporan yang dilayangkan oleh kubu Lisa-Wartono. Objek yang dipermasalahkan adalah penggunaan tagline “JUARA” yang memiliki kesamaan dengan program unggulun pemkot Banjarbaru yaitu “angkutan juara”. Sekedar informasi, program “angkutan juara” merupakan program kolaborasi antara pemerintah kota Banjarbaru dengan Dinas Perhubungan untuk menghadirkan moda transportasi umum di Banjarbaru. Program ini telah ada sejak tahun 2018 pada masa kepemimpinan Nadjmi Adhani, namun baru terealisasikan pada akhir masa jabatan Aditya-Wartono yang diresmikan September 2024.

Kubu penantang dalam laporannya menyatakan bahwa tagline “JUARA” yang digunakan oleh pasangan Aditya-Abdullah identik dengan program pemerintah yang sedang diemban oleh Aditya-Wartono. Kubu penantang menggunakan pasal 71 UU Pilkada yang menyatakan bahwa secara eksplisit dilarang untuk petahana menggunakan atau menyalahgunakan wewenang, program, dan anggaran pemerintah untuk kepentingan kampanye. Bawaslu Kalimantan Selatan kemudian menerima laporan tersebut yang kemudian dieksekusi oleh KPU Banjarbaru. Akhirnya, “blunder” fatal dilakukan oleh petahana, tagline “JUARA” berubah menjadi pedang bermata dua.

Dalam Rational-Choice Institutionalism (RCI), aktor politik yang memiliki akal rasional bertindak untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam pertarungan, dalam hal ini pilkada. Mereka menggunakan institusi dan aturan main untuk memberikan keuntungan yang besar sehingga mendapatkan hasil akhir berupa kemenangan. Dalam hal ini, RCI melihat bahwa institusi yang bermain seperti Bawaslu, KPU, dan peraturan Undang-undang seperti pasal 71 UU Pilkada yang digunakan untuk menjegal kubu petahana, bukanlah sebuah entitas yang netral, mereka merupakan “peraturan permainan” yang mampu memberikan insentif dan disentif.

Kubu penantang dinilai cerdas dalam melihat peluang ini. Maklum saja, calon wakil dari penantang merupakan seseorang yang mengetahui isi dapur petahana, Wartono. Wartono menjabat sebagai wakil walikota yang berpasangan dengan Aditya Mufti. Kecolongan ini lah yang mungkin tidak masuk dalam kalkulasi kubu petahana dengan tetap mempertahan kan tagline “JUARA” sebagai jargon yang populis untuk menarik simpati rakyat Banjarbaru.

Berdasarkan survei yang dirilis oleh Trust Indonesia pada pertengahan Oktober 2024 menunjukkan bahwa pertarungan antara petahana dengan penantang berlangsung “tipis” atau sangat ketat. Pasangan Lisa-Wartono mendapatkan 48,1 Persen dan pasangan Aditya-Abdullah memperoleh 46,3 Persen suara. Dalam dunia pertarungan politik, istilah “tipis” memiliki nilai yang sangat mahal. Hasil ketat ini mengharuskan kedua paslon untuk kembali membakar segala sumber daya politik dan finansial secara maksimal untuk mengamankan kemenangan di arena elektoral konvensional. Konteks ini lah yang kemudian mendasari strategi selanjutnya. Dimana pertarungan diranah konvensional memiliki biaya yang sangat tinggi namun winrate yang kecil. Sehingga kubu penantang mengubah arena pertarungan ke tingkat non-konvensional dengan risiko yang tinggi: Arena legal.

Kubu penantang memulai penyerangan kepada kubu petahana dengan melayangkan laporan dengan dasar hukum Pasal 71 UU Pilkada. Sebuah aturan main telah berlaku dalam kontestasi pilkada ini dimana blunder fatal terjadi ketika peluncuran program “angkutan juara” pada September 2024. Kubu penantang menilai ini adalah bentuk tunggangan kubu petahana melalui program pemerintah guna yang dianggap mampu mendongkrak suara pada perhelatan pilkada nanti. Disinilah aturan main berlaku. Dalam kacamata institusionalis, institusi baru akan berfungsi jika didukung dengan penegakan aturan main yang efektif. Dalam hal ini, kubu petahan tidak mampu untuk memberikan boundaries atau batas yang jelas antara program pemerintah “Angkutan juara” dengan tagline “JUARA” yang mereka gunakan.

Dengan blunder ini, kubu penantang bertindak cepat dengan membuat kalkulasi tandingan. Sebagai aktor yang rasional,  mereka dihadapkan dengan dilema bahwa apabila pertarungan tetap berlanjut di arena elektoral, sumber daya yang digunakan harus semakin besar dan belum ada jaminan kemenangan yang pasti. Namun apabila arena pertarungan dipindah ke ranah legal, dengan melaporkan blunder pasangan petahana. Peluang kemenangan kemungkinan bertambah karena ada kemungkinan kesalahan yang dibuat kubu petahana akan menghasilkan diskualifikasi dalam pertarungan kursi kepemimpinan walikota dan wakil walikota Banjarbaru.

Tentunya kubu penantang bertindak rasional yang memberikan keuntungan, yaitu dengan melaporkan blunder yang dilakukan kubu petahana dan mengubah arena pertarungan ke ranah legal. Ini merupakan arena shifting yang klasik, dimana aktor akan menggunakan segala strategi yang menguntungkan agar lawan saingan yang kuat di ranah konvensional akan menjadi lemah apabila berubah arena pertarungan di ranah legal. Mereka (kubu Lisa) akhirnya berhasil memindahkan arena pertarungan dari arena kontestasi popularitas – yang dimana kemungkinan mereka akan kalah didalamnya – ke arena legal-birokratis (Bawaslu), dimana yang diadu adalah bukti pelanggaran pemilu, bukan jumlah suara pemilih.

Kubu Lisa tidak menyerang kebermanfaatan dari program tersebut – yang dimana rakyat menyukai program tersebut dan akan menjadi blunder sendiri bagi kubu Lisa. Tapi mereka menyerang metode branding yang digunakan oleh pihak petahana. Stategi yang cerdas diambil oleh kubu Lisa, namun sulit untuk Bawaslu Kalsel. Bawaslu, sebagai institusi dihadapkan dilema yang mempertaruhkan kredibilitas mereka. Jika mereka menolak laporan pihak Lisa, mereka dituduh sebagai simpatisan dan membiarkan bukti kecurangan tetap ada dan menghancurkan kredibilitas mereka sebagai pengawas pemilu. Sebaliknya, jika mereka menerima laporan, mereka dianggap mengambil langkah politik yang ekstrem dengan mencederai hati rakyat demi kepatuhan prosedural yang kaku semata.

Sebagai institusi yang juga memiliki rasional, Bawaslu mengambil langkah yang ekstrem dengan menerima laporan yang diajukan Lisa dan memberikan Sanksi kepada pihak petahana (Aditya-Abdullah) berupa diskualifikasi. Alasan mudah untuk mengetahui kenapa Bawaslu megabulkan laporan itu: kehilangan kredibilitas lebih mahal dan berdampak jauh lebih besar daripada hanya menanggung biaya sumbu pendek politik (demokrasi substantial). Ini jelas dalam dunia RCI: Bawaslu merupakan wasit dalam pertandingan walikota Banjarbaru yang terikat oleh “rulebook”. Jelas adanya aturan main yang memaksa tangan mereka untuk mengambil keputusan yang bijak demi menegakkan keadilan dalam permainan.

Meskipun perjalanan pilkada Banjarbaru 2024 tidak mudah dan dramatis hingga diadakan PSU ulang akibat kesalahan dari KPU Banjarbaru sendiri yang tidak menyediakan surat suara baru yang berisikan kotak kosong pada kertas pemilihan. Namun dalam hal ini, dalam perspektif RCI merupakan sebuah mahakarya drama politik yang menarik yang sarat akan kalkulasi politik, blunder petahana, dan pemanfaatan aturan main secara presisi.

Kemenangan kubu Lisa-Wartono merupakan kecerdikan mereka dalam arena kontestasi pemilu yang berubah ke arena legal dengan eksploitasi blunder tagline “JUARA” yang digunakan petahana. Sehingga memberikan pelajaran bahwa dalam dunia politik, program yang populis belum tentu dapat menggaet suara yang banyak. Pemilu bukan hanya sekedar pertarungan perebutan hati rakyat, namun pemilu juga bentuk pertarungan strategi dengan eksploitasi aturan main yang berlaku dalam arena pertarungan.

Mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada

Baca Artikel Lainnya

Tinggalkan komentar