Ketika Upah Menguat, Ekonomi Bergerak: Membaca Kalsel di Tahun 2026

by adm barito post
0 comments 3 minutes read
Odjie Samroji

Oleh: Odjie Samroji *)

KENAIKAN upah minimum sering terlihat seperti angka di atas kertas kebijakan, padahal ia lebih mirip “denyut nadi” perekonomian daerah: ketika menguat, daya beli mengalir ke rumah tangga, warung, pasar, dan UMKM, lalu kembali menggerakkan produksi. Dalam konteks Kalimantan Selatan, penetapan UMP 2026 sebesar Rp3.725.000 dengan kenaikan 6,54% patut dibaca sebagai intervensi ekonomi yang menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai variabel penting stabilisasi dan pertumbuhan, bukan sekadar hasil administrasi.

Secara teori, kenaikan upah minimum berkaitan dengan penguatan permintaan agregat. Rumah tangga pekerja cenderung membelanjakan tambahan pendapatan untuk kebutuhan dasar, sehingga sirkulasi uang meningkat pada sektor yang padat transaksi dan padat tenaga kerja. Di Kalsel, terutama di wilayah perkotaan, efek ini bisa menjadi penyangga ekonomi ketika tekanan eksternal atau volatilitas komoditas memengaruhi daya tahan ekonomi daerah.

Banjarmasin dan Banjarbaru, sebagai wilayah dengan upah minimum tertinggi, dapat berperan sebagai simpul pengganda dalam jejaring ekonomi Banua. Keduanya merupakan pusat jasa, perdagangan, dan aktivitas pemerintahan, sekaligus titik mobilitas pekerja dan distribusi barang. Karena itu, penguatan daya beli di dua kota ini berpotensi cepat memantul ke sektor ritel, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan UMKM, lalu menyebar ke wilayah penyangga melalui arus perdagangan dan mobilitas.

Namun analisis upah minimum tidak cukup berhenti pada sisi konsumsi. Kesejahteraan pekerja juga berkaitan dengan stabilitas hubungan industrial dan produktivitas. Upah yang lebih memadai dapat menurunkan kerentanan keluarga dan tekanan sosial, sehingga pekerja lebih fokus dan perusahaan lebih diuntungkan melalui turunnya turnover, biaya rekrutmen, serta meningkatnya konsistensi kualitas output. Dengan kata lain, upah layak bukan hanya isu distribusi, tetapi juga instrumen efisiensi jangka menengah.

Meski begitu, kenaikan upah dapat memunculkan friksi di sisi penawaran, terutama bagi UMKM dan sektor padat karya bermargin tipis. Dampaknya sangat bergantung pada kemampuan perusahaan beradaptasi. Jika adaptasi gagal, respons yang muncul sering defensif—pembatasan perekrutan, pengurangan jam kerja, atau fleksibilisasi kontrak—yang berisiko mendorong informalitas dan melemahkan perlindungan pekerja. Karena itu, kebijakan upah semestinya berjalan bersama strategi peningkatan produktivitas, bukan berdiri sendiri.

Di sinilah daya kritis bagi pengusaha menjadi penting: membedakan penyesuaian bisnis yang rasional dari praktik penghindaran kewajiban yang merusak ekosistem. Kenaikan upah seharusnya mendorong audit efisiensi internal—energi, rantai pasok, proses kerja, dan manajemen berbasis data. Menekan hak pekerja hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikan akar kebocoran produktivitas.

Kepatuhan terhadap upah minimum dan hak normatif perlu dipahami sebagai fondasi kepastian institusional. Ekonomi daerah bertumbuh bukan hanya dari modal, tetapi juga dari kepercayaan: pekerja percaya pada perusahaan, konsumen percaya pada produk, investor percaya pada stabilitas iklim usaha. Praktik upah di bawah ketentuan, lembur tidak layak, atau kontrak yang tanpa kepastian mungkin terasa “menghemat”, tetapi menggerus reputasi dan modal sosial bisnis.

Aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) juga harus ditempatkan sebagai argumen ekonomi, bukan sekadar formalitas. K3 adalah pagar yang menjaga mesin produksi berputar tanpa biaya tragedi. Kecelakaan kerja menimbulkan biaya langsung (pengobatan, kompensasi, berhentinya produksi) dan biaya tidak langsung (moral pekerja, konflik, risiko hukum, reputasi). Investasi pencegahan sering baru terasa nilainya ketika insiden berhasil dihindari.

Terakhir, transparansi hubungan kerja merupakan prasyarat akuntabilitas. Struktur upah, lembur, jaminan sosial, cuti, dan jalur pengaduan perlu jelas dan mudah diakses. Ketidakjelasan menciptakan asimetri informasi yang memupuk ketidakpercayaan dan konflik. Sebaliknya, dialog sosial yang sehat mendorong hubungan industrial bergerak dari kontrol sepihak menuju kemitraan yang stabil.

Pada akhirnya, kenaikan UMP/UMK 2026 adalah momentum koreksi struktural. Pekerja memperoleh pengakuan atas kebutuhan hidup yang meningkat; pengusaha ditantang memperkuat produktivitas dan tata kelola; pemerintah memikul tugas menegakkan kepatuhan sekaligus memfasilitasi adaptasi dunia usaha. Jika berjalan serempak, Banua berpeluang memasuki siklus yang lebih sehat: daya beli naik tanpa inflasi melonjak, produktivitas meningkat tanpa mengorbankan martabat kerja, dan pertumbuhan berdiri di atas kepercayaan yang lebih kuat. Angka upah minimum, pada akhirnya, adalah kompas: ia mengarahkan pembangunan apakah hanya mengejar pertumbuhan, atau membangun pertumbuhan yang berakar pada kesejahteraan, keselamatan, dan keadilan kerja. (BARITOPOST.CO.ID)

*) Analis Kebijakan Publik, Founder Albirru Indonesia

Baca Artikel Lainnya

Tinggalkan komentar