Banjarmasin, BARITOPOST.CO.ID – Kasus dugaan ijazah palsu yang menyeret nama Aspihani terkait gelar sarjana dan magister hukum yang disandangnya terus bergulir. Perkara tersebut kini telah masuk tahap penyidikan di Direktorat Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Kalimantan Selatan, dan mendapat sorotan tajam dari pengacara senior Bujino A Salan SH, MH, Senin (22/12/2025).
Bujino menegaskan, dengan naiknya status perkara ke tahap penyidikan serta telah diperiksanya pihak yayasan, Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al-Banjari seharusnya segera mengambil langkah tegas.
“Seharusnya ada tindakan tegas dari Uniska, juga koordinasi dengan Kopertis Wilayah XI Kalimantan,” ujar Bujino kepada Barito Post.
Menurutnya, apabila seorang dosen tetap tercatat resmi mengajar di kampus dengan ijazah yang diduga palsu, maka legal standing dosen tersebut menjadi cacat hukum.
Dampaknya bukan hanya pada institusi, tetapi juga terhadap mahasiswa yang pernah diajar.
“Apalagi yang bersangkutan mengajar, memberi nilai UTS hingga skripsi, sampai mahasiswa itu lulus. Ini berpotensi cacat hukum dan menjadi kerugian besar bagi mahasiswa,” tegasnya.
Bujino yang juga merupakan kuasa hukum pelapor M Hafidz Halim SH menilai, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, seseorang yang tidak memiliki legal standing tidak memiliki kewenangan mengajar. Konsekuensinya, mata kuliah yang diampu dosen tersebut berpotensi harus diulang.
“Ini fatal, karena menjadi dasar kelulusan mahasiswa,” katanya.
Ia juga menyayangkan kasus dugaan ijazah palsu tersebut terjadi di Uniska yang merupakan salah satu kampus swasta terbesar di Kalimantan Selatan.
Menurutnya, kampus seharusnya tidak tebang pilih dalam menegakkan aturan.
“Kasus dosen wanita sebelumnya yang hanya memprotes kebijakan kampus langsung diberhentikan.
Sementara dalam kasus ini, yang sudah masuk penyidikan, minimal yang bersangkutan harus dinonaktifkan,” ujarnya.
Lebih jauh, Bujino mengingatkan bahwa apabila dugaan ijazah palsu itu terbukti, maka nilai mahasiswa yang pernah mengikuti mata kuliah dosen tersebut bisa dinyatakan batal dan menjadi tanggung jawab kampus. Mahasiswa pun berpotensi menuntut ganti rugi.
“Mahasiswa jangan sampai jadi korban. Ini tanggung jawab institusi,” tegasnya.
Ia menambahkan, ketentuan hukum yang relevan antara lain UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang penjaminan mutu pendidikan tinggi, serta putusan Mahkamah Agung Nomor 210 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pemberian kewenangan oleh pihak yang tidak sah tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Jika ijazah Aspihani terbukti palsu, maka nilai mahasiswa berpotensi batal karena melanggar ketentuan penjaminan mutu pendidikan tinggi,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, data resmi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti) mengungkap adanya ketidaksesuaian penggunaan gelar akademik Aspihani dalam proses pendaftaran sebagai dosen. Berdasarkan PD-Dikti, Aspihani tercatat memiliki riwayat Sarjana Hukum (S.H) dari Universitas Darul Ulum tahun 2010 dan Magister Hukum (M.H) dari Universitas Islam Malang tahun 2011.
Namun penggunaan gelar tersebut dinilai tidak sejalan dengan validasi administratif yang menjadi syarat mutlak pengangkatan dosen.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik dan aparat penegak hukum, seiring proses penyidikan yang tengah berjalan di Krimsus Polda Kalsel.
Penulis : Arsuma
Editor : Mercurius
Follow Google News Barito Post dan Ikuti Beritanya