Jakarta, BARITOPOST.CO.ID – Eddy Manindo Harahap, Deputi Komisioner Pengawas Pengelolaan Investasi Pasar Modal dan Lembaga Efek OJK (Otoritas Jasa Keuangan) menambahkan penyesuaian batas minimum free float harus penuh dengan pertimbangan.
“Mungkin perlu pertimbangan dari berbagai aspek, bagaimana peningkatan likuiditas, perlindungan investor, penyerapan investor hingga bagaimana pengaruh minat korporasi domestik untuk go public,” ujarnya.
Namun, Eddy menegaskan, arah OJK dan BEI tugas jelas untuk meningkatkan batas minimal free float yang lebih besar. “Target awal 2026 sudah ada progres yang jelas, mungkin aturan dari BEI yang keluar,” harapnya.
OJK dan BEI berencana untuk menaikkan batas minimal free float menjadi 10%–15% bagi emiten yang sudah tercatat. Keduanya juga berencana untuk mengubah perhitungan free float bagi emiten IPO.
Berdasarkan hitungan OJK, apabila diberlakukan ketentuan kewajiban free float dengan besaran 10%. Maka sudah ada 751 emiten yang sudah sesuai dengan ketentuan per 30 September 2025.
Sementara, sisanya sebanyak 192 emiten belum memenuhi batasan. Dengan demikian, perkiraan tambahan yang harus diserap pasar apabila ketentuan kewajiban free float menjadi 10% mencapai Rp 21 triliun.
Jika kenaikan free float minimal menjadi 15%, maka emiten yang sudah sesuai ada 673 emiten. Sisanya sebanyak 270 emiten belum memenuhi sehingga dana yang dibutuhkan sebesar Rp 203 triliun.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman menyampaikan, saat ini pihaknya tengah menyiapkan kajian. Di mana, kajian tersebut sudah memasuki tahap final.
Iman memastikan, setelah kajian selesai, BEI akan melakukan rule making rule dengan meminta tanggapan dari pelaku pasar baik perusahaan sekuritas, investor institusi dan calon emiten sebelum memperoleh persetujuan ke OJK.
“Kami lakukan sesegera mungkin di 2026, kami akan implementasi bersamaan dengan penyesuaian peraturan Bursa No I–A,” jelasnya dalam konferensi pers Penutupan Perdagangan Bursa Tahun 2025, Selasa (30/12/2025).
Menurutnya, ketentuan batas minimum free float ini harus memiliki tolok ukur alias benchmarking dari bursa lainnya agar perubahan peraturan ini dapat berjalan efektif dan diterima.
“Yang penting adalah efektivitas, ketika ada IPO bisa diserap oleh pasar dan berikutnya perusahaan dalam negeri melakukan IPO di bursa Indonesia, bukan pasar saham lainnya,” harapnya.