Politik Hantu, Hantu Politik

by admin
0 comment 5 minutes read

Oleh: Dr. M. Suriani Shiddiq, S.Ag, M.Si*

Bupati Banjar Khalilurrahman pada saat peluncuran Pemilukada Kabupaten Banjar (28/1/20) melemparkan isu menggelitik sekaligus sarkastik soal politik hantu. “Hantu pun bisa jadi bupati kalau punya duit”, ujarnya kala itu.

Pernyataan yang diliput banyak media ini bukanlah pernyataan kosong dan kering makna. Jika ditelisik secara hermeneutik apa yang disampaikan sang bupati, jelas sekali hendak mengirimkan pesan pada publik bahwa untuk menjadi seorang kepala daerah sekelas bupati saja modal adalah penentu mutlak kemenangan.

Secara implisit, politik hantu sang bupati tersebut bisa dimaknai dari dua sisi. Pertama, jangan coba-coba maju mencalonkan diri jadi kepala daerah kalau tidak memiliki modal yang cukup. Atau bisa juga sebaliknya yang kedua, dia seperti hendak menyindir dirinya sendiri yang memenangi pilkada lalu bukan karena latar belakangnya dari kalangan ulama, atau karena gagasan besar dan visi-misinya untuk membangun daerah, tetapi lebih karena ditopang oleh uang dari para pemodal.

Pernyataan sang bupati, guru Khalil, bukan semata kerisauan dirinya saja yang mungkin tak lagi mendapat tempat dalam kontestasi politik pemilihan calon Bupati Banjar 2020, karena rekam jejaknya selama menjabat juga kurang membanggakan. Tapi sekaligus juga merupakan miniatur dari kegalauan hampir seluruh masyarakat kita menjelang pesta demokrasi pemilu maupun pemilukada serentak 23 September 2020 mendatang.

Hantu Politik

Leo Agustino (2009), mengidentifikasi adanya 4 perilaku pemilih ketika menentukan pilihannya pada kontestasi politik; karena faktor kesamaan keyakinannya (the socio-religious beliefs); karena kedekatan ideologis psikologis-ideologis; karena pola kepemimpinan (leadership pattern); dan karena status sosial.

Di awal era reformasi penelitian Leo mungkin masih terasa relevan, tapi dalam konteks kekinian terjadi shifting paradigm (pergeseran pola pikir) yang paradoks. Pemilih tidak lagi menentukan pilihan karena alasan keyakinan, ideologi, kemampuan memimpin maupun status sosial calon, tapi lebih banyak disebabkan karena imbalan yang didapatkan. Inilah yang kita kenal dengan politik uang.

Isu soal politik uang bukanlah isapan jempol. Sudah banyak kasus kontestan pemilu yang tertangkap tangan oleh pengawas pemilu, disidang dan diputuskan bersalah melakukan praktek politik uang dengan berbagai bentuknya. Sayangnya, di antara sekian banyak kasus yang dapat dibuktikan, peristiwa yang terjadi jauh lebih massif, terukur dan terencana, sehingga sangat sulit dibuktikan. Seperti mengendus kentut. Kita dapat mencium aromanya, tapi tak dapat melihat bentuknya.

Politik uang seperti pernyataan Bupati Khalil bak hantu, terlihat jelas banyak terjadi, tapi tak bisa disentuh hukum. Inilah hantu politik yang sesungguhnya. Tak heran jika survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) Desember 2019 lalu menyebutkan bahwa 74 persen masyarakat memiliki kecenderungan memilih seorang calon kepala daerah karena motivasi mendapatkan imbalan uang (jejakrekam.com/4/2/20). Ironis memang, tapi inilah kenyataan masyarakat kita sekarang.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Meminjam istilah Nursal (2004), setidaknya ada 7 cara meminimalisir terjadinya politik uang dengan melakukan pendekatan kognitif political marketing. Pertama, para kontestan pemilu harus jago mengusung isu-isu kebijakan yang akan disusun dan program-program unggulan pada saat kampanye.

Kedua, membuat citra sosial (social imaginery), yaitu membangun kedekatan sosial dengan masyarakat yang relatif heterogen. Ketiga, membangun perasaan emosional (emotional feeling) dengan masyarakat. Keempat, candidate personality yaitu membangun citra yang positif tentang diri kontestan (karakter, wibawa, kapabilitas, transparansi, dll). Kelima, mengikuti perkembangan peristiwa-peristwa mutakhir (current events). Keenam, merekonstruksi peristiwa personal (personal events) sang kontestan, dan yang terakhir, adalah membuat isu-isu epistemik (epistemic issue), yang memicu keingin tahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.

Apa yang dipaparkan Nursal, memang dilakukan oleh kebanyakan kontestan pemilu/pemilukada, hanya saja semuanya tidak dilakukan secara serius, dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sehingga berkesan hanya seperti lipstik semata. Yang dikedepankan justru iming-iming imbalan uang.

Selingkuhi Pemodal                                                                     

Politik dan bisnis mempunyai pola hubungan yang saling terkait. Layaknya hubungan timbal balik antar individu, aktivitas politik dianggap dapat menunjang kegiatan bisnis. Sebaliknya, bisnis dianggap dapat mendukung kegiatan politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Tidak heran, jika kita lihat para pelaku bisnis sangat dekat dengan dunia politik, bahkan beberapa di antaranya juga merupakan figur politik yang sangat dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan mereka dapat kita rasakan saat pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Kita kenal nama seperti Yusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Haritanoe, atau di Kalsel kita kenal H Isam, Duet H ‘Bos Binuang’ H. Ijai-H Ciut, ada H Abidin dan H. Muhidin. Mereka menyadari bahwa para elit politik ini memegang peranan penting dalam membuat kebijakan sehingga wajib hukumnya ‘diselingkuhi’.

Hubungan kausalitas antara pengusaha dengan dunia politik bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Hal ini sudah berlangsung sejak Orde Lama hingga saat sekarang. Di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat sekalipun, “perselingkuhan” antara penguasa (politisi) dengan pemilik modal (pengusaha) sangat jamak terjadi. Hubungan ini biasanya terkait dengan masalah finansial atau pendanaan salah seorang calon saat kampanye.

Namun persoalannya muncul justru pasca kampanye. Ada semacam “jebakan balas jasa” untuk pemodal yang sebelumnya mendanai kampanye kepala daerah terpilih berupa keleluasaan melaksanakan bisnis dan proyek-proyek yang berhubungan dengan perusahaannya. Di sinilah letak simbiosis mutualisme yang sangat mengkhawatirkan.

Mahalnya ongkos politik pemilu membuat keberadaan pemodal laksana dajjal yang datang seolah menawarkan surga (keuntungan) tetapi hakikatnya memberikan neraka (menjerumuskan), karena membuat sang politisi tak lagi leluasa membuat kebijakan yang pro rakyat. Betapa tidak, ketika seorang politisi terpilih karena modal yang diberikan sang pengusaha, maka setiap kebijakannya pada saat memimpin pasti hanya akan menguntungkan si pengusaha. Entah pemberian perizinan tanpa dasar-dasar yang benar seperti izin tambang, izin kelapa sawit, termasuk mengkapling proyek-proyek besar dan sebagainya.

Kutukan Sumberdaya Alam

Sebagai warga bangsa, kita sangat berharap selalu terjadi proses pembelajaran politik yang baik dan mencerdaskan dari setiap sejarah pemilu/pemilukada di tanah air. Politik uang yang jamak terjadi adalah paradoks yang tak bisa kita hindari. Bahkan ada fenomena menarik yang oleh iluwan sosial disebut sebagai “kutukan sumber daya alam” (Auty 1993). Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas termasuk batubara, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) termasuk proses politik yang terjadi acapkali lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil.

Semoga yang terjadi di Indonesia termasuk di daerah ini, yang kaya dengan sumberdaya alam, seperti lazimnya peristiwa politik uang yang diterima secara permisif bahkan dalam kelompok masyarakat yang religius sekalipun yang cenderung membiarkan praktek tersebut berlangsung tanpa kendali adalah bukti bahwa kita terjebak pada kutukan sumberdaya alam seperti yang diprediksi oleh Macartan Humpreys dkk dalam bukunya Escaping the Resource Curse? Wallahu A’lam.

*Penulis adalah Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Kalimantan, Pakar Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik.

 

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment