MENCARI BUNYI

by baritopost.co.id
0 comment 5 minutes read

Oleh Noorhalis Majid

Sekalipun hujan dan cuaca cukup dingin, di Kampung Buku Banjarmasin, malam itu suasana justru hangat. Diskusi tentang etnomusikologi, suatu bidang ilmu yang meneliti tentang bunyi, membuat suasana kampung buku menjadi hangat. Misbach Daeng Bilok, Seniman, Pencari Bunyi asal Sulawesi yang sekarang menetap di Solo, mengajak peserta diskusi menggali bunyi sebagai inspirasi menemukan musik.

Arif, koordinator Kampung Buku, menjadi pemandu diskusi, dihadiri oleh puluhan anak muda dan mahasiswa, termasuk peserta tetap diskusi kampung buku yang tekun hadir dalam setiap kegiatan. Karena kampung buku memang dihajatkan sebagai ruang literasi bagi anak muda, agar semakin mengerti tentang berbagai perkembangan pengetahuan, sambil duduk santai minum kopi atau makan pizza rukun.

Saya sendiri hadir karena ingin mengetahui apa itu etnomusikologi. Sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang musik, apalagi bunyi. Karena itu, mendengarkan etnomusikologi, seperti memasuki hutan lebat rimba raya, yang sangat menarik. Bahwa ternyata ada bidang ilmu yang khusus menggali bunyi, karena bunyi lahir dari proses panjang manusia, setara dengan sejarah manusia itu sendiri.

Mengenali bunyi, berarti mengenali budaya. Begitu pula ketika bunyi tersebut memiliki kesamaan dengan entitas budaya masyarakat lainnya, maka jalur penemuan dan penggalian bunyi itu sendiri merupakan perjalanan interaksi manusia yang sangat panjang. Masyarakat nelayan misalnya, memiliki alat musik petik yang hampir sama dengan masyarakat nelayan di tempat lainnya, dengan nama yang berbeda. Pun masyarakat petani, alat musik tiupnya memiliki kesamaan dengan petani lain di tempat yang jauh.

Dalam penelitian etnomusikologi, harus menggali bersama-sama dengan masyarakat, bunyi apa yang paling akrab di telinga masyarakat, hasilnya kemudian dipulangkan kepada masyarakat itu sendiri sebagai kekayaan budaya yang harus terus dikembangkan, bukan dibawa keluar dan menjadi konsumsi orang luar, kata Daeng.

Kita tidak sedang mengambil, tapi menggali. Karena menggali, maka ada proses bersama yang dilakukan bersama masyarakat. Semakin dalam menggali, semakin menemukan sesuatu yang selama ini tersimpan. Mungkin sudah dilupakan, ditinggalkan karena perubahan zaman, atau dianggap tidak penting, digantikan oleh produk-produk kebudayaan baru yang menggilas kebudayaan lama.

Kemudian Daeng menceritakan pengalaman penelitiannya di Wakatobi, pulau yang sangat terpencil, untuk menemukan bunyi yang paling akrab di telinga masyarakat dan kemudian menjadi musik yang dapat dinikmati. Lama meneliti, barulah dia menemukan bunyi guci yang semula sebagai tempat penampungan air hujan di setiap rumah penduduk. Setelah ada tandon, guci tersebut disia-siakan dan tidak ada harganya.

Pada mulut guci, bila dipukul mengeluarkan bunyi. Kalau memukulnya beraturan, dengan sejumlah guci yang sama, baik pada mulut guci ataupun dindingnya, melahirkan musik yang sangat unik. Dipadu dengan syair-syair nelayan yang pernah ada untuk menangkap ikan. Bunyi pada guci, menjadi lagu dan musik yang asyik dinyanyikan anak-anak remaja.

Kenapa guci? Karena dia menemukan cerita tentang guci yang sangat panjang sekali, umurnya ratusan tahun, dicari oleh para lelulur di pulau itu hingga ke negeri Cina. Hanya karena ada tandon, maka guci menjadi tidak ada harganya. Dibuang, dijual seharga 5 ribu rupiah, dilempar anak-anak untuk bermain dan diganti seharga permen. Namun setelah ditemukan bunyi pada guci tersebut, kini masyarakat menyimpannya, dan harga guci menjadi sangat mahal, karena guci tersebut memang barang antik yang mengandung nilai sejarah dan budaya, lanjut Daeng.

Tentang syairnya sendiri, Daeng menemukan syair yang sangat tua di Wakatobi. Setelah berdiskusi panjang dengan para tetuha adat, ternyata ada syair sakral yang dapat digunakan untuk memanggil ikan. Para nelayan melantunkan syair tersebut saat menangkap ikan. Ikan mendekat dan nelayan memperoleh hasil tangkapannya.

Bahkan ketika syair tersebut disenandungkan, kepiting di pinggir pantai terdiam, tidak beranjak dari tempatnya. Anak-anak nelayan menangkap kepiting dengan menyanyikan syair tersebut, ketika kepiting yang didekati terdiam, barulah ditangkap. Begitu dahsyatnya syair tersebut, hingga kepiting saja terpana, kata Daeng mengenang pengalamannya bersama anak nelayan di Wakatobi. Maka bunyi guci, dipadukan dengan syair nelayan, lahirlah lagu-lagu yang sangat khas, menggambarkan kehidupan nelayan di Wakatobi.

Inti dari etnomusikologi ini adalah bagaimana kita menemukan bunyi, cara menemukannya dengan memahami kehidupan masyarakat, tentang kesehariannya, tentang cara mereka menjalani hidup, tentang sejarah yang panjang, dengan berbagai peristiwa budaya yang melatarinya. Dari situ akan ditemukan bunyi yang dapat mewakili suatu komunitas yang diteliti, kata Daeng.

Sejumlah pertanyaan dari para peserta, membuat diskusi semakin hangat. Padahal hujan semakin deras. Ada yang bertanya soal bagaimana menguji keaslian bunyi, padahal bunyi tersebut juga ditemukan di tempat lain?, ada yang menanyakan soal metodologi etnomusikologi, apakah dia gabungan dari metode-metode penelian yang sudah ada seperti atropologi, partisipatif atau penelitian advokasi yang berpihak pada obyek diteliti? Dan beberapa pertanyaan lainnya yang cukup menggelitik, terutama tentang bunyi banjar yang terimplementasi menjadi musik banjar.

Diskusi itu sendiri, bagian dari peluncuran buku Novyandi Saputra, seorang peneliti etnomusikologi, anak muda asal banua yang sudah menulis buku bertema bunyi banjar. Bukunya berisi rancangan sejumlah penelitian dalam rangka menemukan bunyi banjar.

Dalam buku tersebut dia menemukan, bunyi yang paling tua dalam perjalanan musik banjar, yaitu gamalan, di luar dari pada itu dia belum menemukannya, karena itu penting untuk dilakukan penelitian, kata Novyandi ketika menjelaskan buku yang dia tulis.

Di lain sisi, dia juga mengakui ada bunyi seperti ‘bamamang’ dalam tradisi dayak yang melahirkan bunyi. Bamamang sangat khas bunyinya, sehingga boleh jadi bentuk bunyi beraturan yang lebih tua dari gamalan, karena gamalan adalah alat musik dari zaman Majapahit yang dibawa ke tanah banjar, kemudian mengalami perubahan dan adaptasi terhadap kebudayaan banjar itu sendiri.

Karena malam sudah larut, saya pamit pulang, tapi beruntung sudah mendapatkan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak pernah tahu. Saya berkesimpulan, etnomusikologi sagat penting, karena menyangkut perjalanan sejarah manusia yang sangat panjang, yang menemu kenali indentitasnya melalui bunyi. Walahualam.

(nm)

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment