FH ULM Dorong UU Responsif Gender *Seminarkan Perempuan dan Pluralisme bersama MK

by admin
0 comment 3 minutes read

Hakim MK, Prof Enny Nurbaningsih ketika menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional “Hak-hak Perempuan dan Pluralisme Hukum” di Auditorium Prof Idham Zarkasi FH ULM, Jum’at (20/9) .(foto:tya/brt).

 

Banjarmasin, BARITO – Beberapa peraturan perundang-undangan dinilai belum sepenuhnya responsif gender. Hal itu juga terlihat dari masih terbatasnya sarana yang memberikan perlakuan khusus bagi perempuan, anak dan kelompok rentan di tempat umum misalnya ruang menyusui, trotoar untuk disabilitas dan sebagainya.

Untuk menyikapi hal itu, Fakultas Hukum (FH) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) melalui Lembaga Pengkajian Penalaran dan Diskusi Hukum (LP2DH) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) RI  menggelar Seminar Nasional “Hak -Hak Perempuan dan Pluralisme Hukum” di Auditorium Profesor Idham Zarkasi kampus baru, Jum’at (20/9) pagi.

Seminar menghadirkan pembicara kunci (keynote speaker) Hakim MK Profesor  Enny Nurbaningsih . Narasumber lainnya adalah DR Erlina dari FH ULM, Asfinawati SH (Ketua YLBHI) dan Irene Muthia Putrie SH (mahasiswi) dengan moderator Mirza Satria Buana, PhD.

Pada seminar tersebut, Enny memberikan contoh tentang putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan uji material Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini MK mengabulkan uji material terkait batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang dianggap diskriminatif.

Seperti diketahui, UU 1 Tahun 1974 mengatur batas minimal usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Hal itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak. Bahwa dalam UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa usia di bawah 18 tahun masuk dalam kategori anak.

“Setelah putusan MK ini, maka ada batas waktu bagi DPR untuk memprioritaskan perubahan Undang Undang Perkawinan terutama batas minimum usia perkawinan bagi perempuan,” ujarnya kepada wartawan usai berbicara di forum.

Enny mengatakan, sebenarnya perubahan UU Perkawinan sudah masuk program legislasi nasional sejak lama tetapi belum juga dibahas DPR dan tidak masuk prioritas. Dengan adanya putusan MK, maka hal itu menurutnya akan mempercepat proses revisi UU tersebut.

Sementara itu Dekan FH ULM, Profesor Abdul Halim Barkatullah mengungkapkan,

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan umur laki-laki dan perempuan. Kondisi tersebut menurutnya sudah tidak sesuai lagi untuk masa sekarang dan bersifat diskriminatif. Sehingga UU Perkawinan yang akan datang, batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan akan disamakan antara laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun.

“Usia  19 tahun  juga dianggap sebagai umur  yang cukup matang bagi perempuan baik psikis maupun  kesehatan. Ini merupakan bagian dari pemenuhan hak-hak perempuan juga. Selain UU Perkawinan, kita juga perlu melakukan kajian mendalam terhadap undang-undang lain misalnya ketenagakerjaan dan sebagainya,” urainya.

Melalui seminar tersebut, dia berharap hasilnya dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Baik masukan dari segi  perencanaan,  anggaran dan aspek lainnya untuk pembangunan hukum dan pemenuhan hak-hak  perempuan.

“Mudah-mudahan seminar ini dapat memberikan kontribusi terhadap rangka pembangunan hukum di Indonesia bahkan dalam  pembuatan perda diharapkan juga semakin responsif terhadap hak hak perempuan,” katanya.

Berkait seminar nasional dengan MK, Halim menuturkan bahwa pihaknya menjalin kerjasama dengan lembaga tersebut dan melaksanakan berbagai kegiatan. Kegiatan bersama MK yang telah diselenggarakan antara lain kuliah umum dan pelatihan jurnal se-Kalimantan.tya

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment