DKPP Puji Indeks Demokrasi di Kalsel

by baritopost.co.id
0 comment 2 minutes read

Banjarmasin, BARITO – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Didik Supriyanto S.IP MIP di Banjarmasin, Senin (23/11) melontarkan pujian pada Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) yang masuk dalam 10 besar Indeks Demokrasi Indonesia (DI) tertinggi berdasarkan survei tahun 2019 yang dirilis Badan Pusat Statistik.

“Demokrasi di Kalsel jauh kebih maju dibanding tempat saya lahir. Menurut survei, Kalsel lebih demokratis dibanding Jawa Timur. Ini luar biasa,” kata Didik saat menjadi salah satu narasumber Seminar Nasional “Penguatan Demokrasi dan Integritas Pemilu di Indonesia” , Senin (23/11) di Banjarmasin.

Seminar ini merupakan hasil kerja sama antara DKPP dengan Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Lebih dari 50 orang yang terdiri dari jajaran civitas academica dan mahasiswa ULM mengikuti kegiatan ini.

Didik berpendapat, setidaknya terdapat empat  indikator dari sebuah negara demokratis, yaitu pemilu yang luber jurdil (free and fair election), pemerintah yang kuat legitimasinya dan responsif, adanya Hak Asasi Manusia (HAM), dan masyarakat sipil yang kuat.

“Jadi demokrasi itu akan hidup dan berkembang alabila pemilunya luber jurdil, pemerintahannya responsif, HAM-nya dilindungi, dan sipilnya kuat,” jelas Didik.

Lebih lanjut, Didik menegaskan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 11/PUU-VIII/2010 dan UU Pemilu, pemilu merupakan tanggung jawab bersama dari tiga lembaga, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP.

“DKPP adalah lembaga yang khusus menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,” tutup Didik.

Didik juga mengungkapkan, kondisi iklim demokrasi Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik setidaknya dibanding 25 tahun lalu. “Bersyukurlah adik-adik mahasiswa hidup dalam negara yang sudah demokratis,”

Ia pun membandingkan kondisi saat ini dengan iklim demokrasi semasa mudanya dulu yang ia sebut sangat tidak demokratis. Generasi muda, lanjut Didik, khususnya mahasiswa saat ini memiliki banyak saluran untuk mengritik siapa pun, mulai dari Lurah, Dekan, Rektor hingga Presiden. Terlebih, kata Didik, saat ini ada media sosial yang memang membuat kebebasan berbicara semakin meningkat.

“Kalau dulu semasa saya mahasiswa, kami cuma mengkritik rektor. Kalau mau kritik di luar itu (pemerintah atau penguasa, red.) itu harus berani menanggung sendiri akibatnya,” ucap aktivis UGM era 80-an ini.

Penulis: Salman

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment